SENTRALITAS GEREJA DALAM PWG
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans
Pantan
Ketika kita mulai berbicara tentang pendidikan, dan
atau pembinaan, biasanya asosiasi berpikirnya langsung terarah pada lembaga-lembaga
“sekolah”, lembaga-lembaga kursus yang formal maupun non-formal. Padahal media
atau konteks pendidikan bisa dilakukan oleh keluarga (di rumah), gereja,
sekolah, kursus-kursus, bahkan lingkungan masyarakat di mana saja seseorang itu
hadir. Masing-masing konteks pendidikan mempunyai “core” tugasnya. Dalam
kaitannya dengan pendidikan iman Kristiani, di samping menjadi tugas utama dari
pendidikan dalam keluarga, tetapi juga menjadi tugas penting dari gereja. Karena itu pembinaan warga gereja adalah
merupakan wilayah tanggung jawab utama dari gereja, bukan keluarga, sekolah
atau kursus, dll. Karena itu, gereja tidak dibenarkan apabila melemparkan
tanggung jawab itu kepada institusi-institusi lain, seperti sekolah, dll.
Dalam realitas pelaksanaan tugas pelayanan gereja,
khususnya di bidang PWG, belum terlaksana secara komprehensif. Artinya bahwa
bisa saja sebagian sudah terlaksana, misalnya telah melakukan ibadah di gedung
gereja yang diisi dengan pujian, kesaksian umat dan kemudian mendengarkan
khotbah pendeta. Tetapi sebenarnya itu barulah merupakan sebagian kecil dari
sekian banyak tugas pembinaan gereja terhadap umat yang dipercayakan dan
diperhadapkan Tuhan kepadanya. Pembinaan warga gereja seharusnya bersifat
komprehensif, yaitu menyentuh dan atau menjawab seluruh konteks kebutuhan umat.
Dilandasi dengan pokok pikiran di atas, maka pada
bagian ini, pertama-tama secara khusus
akan dibahas tentang pengertian gereja dan posisi sentralitasnya dalam pelaksanaan
tugas PWG. Asumsi dasarnya adalah jika pemahaman kita terhadap hakikat gereja
jelas dan tepat, maka itu akan menjadi modal serta sekaligus sebagai pemberi
arah yang akurat bagi pelaksanaan dan pencapaian sasaran (goal) PWG, baik dalam
konteks gereja lokal, sinodal maupun gereja dalam arti universal. Dilandasi
dengan asumsi tersebut, maka perlu dipaparkan
beberapa point penting berikut ini :
a. Pengertian Gereja Secara Teologis
Tulisan ini tidak persiapkan untuk melakukan studi kata (word
study) tentang “gereja”, melainkan lebih diarahkan pada tataran pengertiannya; baik pengertian
teologis maupun pengertian praktis. Salah satu pengertian teologis
tentang gereja, diungkapkan oleh French L. Arrington dalam bukunya “Christian Doctrine; A Pentecostal
Perspective” : The Church is the community of faith. Where the word of God
is preached and received by faith there is the church.[1] Tetapi
pada sisi lain, gereja
dapat pula didefinisikan sebagai sebuah persekutuan yang diberi spesifikasi
atau konotasi yang khusus, yaitu sebagai persekutuan orang-orang percaya, yang
dipanggil, dipilih dan dikuduskan untuk menjadi berkat bagi semua orang atau sesama
manusia (bnd. Kej. 12:2-3; Kel. 19:5-6; Ul. 4: 20 ; 7:26 ;
14:2; 26:18; Tit. 214; 1Petr. 2:9).
Dalam rangka panggilan, pilihan dan pengudusan (pengkhususan) inilah PL
berbicara tentang umat Allah (am Yahwe) yang di dalam PB diterjemahkan ek-klesia,
yaitu persekutuan orang-orang yang dipanggil keluar dari ikatan-ikatan lama
kemudian dikhususkan untuk menjadi berkat bagi semua orang. Di sini tampak
dengan jelas bahwa gereja merupakan persekutuan atau perkumpulan masyarakat
iman yang menurut iman Kristiani adalah masyarakat (siapa saja yang terdiri
dari orang-orang) yang telah menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan
juruselamatnya. Secara teologis
gereja dapat diartikan sebagai persekutuan yang lahir dari Allah, karena ia
merupakan buah tangan pekerjaan Roh Kudus. Itulah sebabnya, kehadirannya di
dunia ini mempunyai pengertian yang special, yaitu: sebagai “agen” atau
“mediator” berkat Allah bagi dunia ini.
b. Gereja adalah Orangnya
Dilandasi pemahaman pada point a di atas, maka saya ingin mengutip apa yang dikemukakan oleh Dr.
Theo Kobong, melalui tulisannya yang berjudul “Gereja Bukanlah Gedungnya,
Gereja Adalah Orangnya” dalam buku “Kepemimpinan dan Pembinaan Warga Gereja. Ia
secara jelas menguraikan bahwa gereja adalah orangnya.[2] Dari uraian terdahulu di atas kita sudah dapat
memahami bahwa yang dimaksudkan pertama-tama
bukanlah gedungnya, melainkan gereja adalah orangnya. Kita juga sudah memahami
bahwa tugas dasar yang diberikan Allah kepada kita adalah sama dengan tugas
yang diberikan Allah kepada Abraham yaitu memeilihara kehidupan. Memelihara
kehidupan seperti yang dimaksudkan Allah tidak mungkin dilakukan oleh gereja
sebagai lembaga/institusi. Di dalam Alkitab, Allah tidak berbicara kepada
lembaga/institusi, melainkan kepada manusia-manusia, walaupun Alkitab
mempergunakan juga ilustrasi seperti bangunan (Ef. 2:21-22; 1 Petrus 2:5), tubuh
(1 Kor. 12), kawanan domba (Yoh. 21:15-17; 1 Petr. 5:2). Namun jelas bahwa yang
disapa melalui ilustrasi-ilustrasi (itu berarti ilustrasi di sini hanya
diposisikan sebagai sarana komunikasi yang komunikatif) itu adalah
manusia-manusia yang telah memberikan dirinya dirangkul oleh kasih Allah.
Dengan demikian mau dikatakan bahwa masing-masing umat Allah disapa sebagai
bagian dari satu bangunan, satu tubuh, satu kawanan domba, tetapi kepada
masing-masing anggota telah diberikan karunia yang berbeda-beda. Demikianlah
kita mempunyai karunia yang berlain-lain menurut kasih karunia yang
dianugerahkan kepada kita (Roma 12:6). Setiap anggota mempunyai fungsinya
masing-masing (1 Kor. 12). Di dalam 1 Kor. 12:21 dyb. Paulus mengatakan: mata
tidak dapat berkata kepada tangan; aku tidak membutuhkan engkau. Dan kepala
tidak dapat berkata kepada kaki, aku tidak membutuhkan engkau. Malahan justru
anggota-anggota tubuh yang menurut pemandangan kita kurang terhormat, kita justru
memberikan penghormatan khusus kepadanya. Demikian juga terhadap
anggota-anggota tubuh kita yang tidak elok, kita berikan perhatian khusus
kepadanya.
Di tempat lain Paulus berkata bahwa kita adalah satu tubuh di
dalam Kristus. Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lain menurut
kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita: jika karunia itu adalah untuk
bernubuat, baiklah kita melakukannya sesuai dengan iman kita. Jika karunia
untuk melayani, baiklah kita melayani, jika karunia untuk mengajar, baiklah
kita mengajar, jika karunia untuk menasehati, baiklah kita menasehati. Karunia
intelektual itu bermacam-macam, karunia seni mungkin lebih bervariasi lagi,
demikian juga karunia keterampilan tidak kurang banyaknya. Singkatnya kehidupan
ini mempunyai banyak segi yang sering kita tidak sadari, namun apabila kita
yakin bahwa kehidupan ini adalah ciptaan pemberian Tuhan, maka kita harus pula
sadari bahwa kehidupan ini adalah ciptaan dan pemberian Tuhan, maka sebaiknya
kita sadar bahwa kehidupan seperti itulah yang harus kita pelihara dan
kembangkan, masing-masing menurut talenta yang dipercayakan kepadanya.
Dengan pemahaman di atas bahwa gereja/umat Allah dipanggil dan
diberikan tugas memelihara kehidupan, maka jelas bahwa gereja hanya bisa
memelihara kehidupan melalui anggota-anggotanya di setiap bidang kehidupan (artinya
dalam multi kompetensi) sesuai dengan kehendak Allah. Dengan kesadaran
demikian, maka gereja mau tidak mau mempunyai kewajiban untuk memperlengkapi
anggota-anggotanya untuk memelihara kehidupan itu. Untuk itulah Yesus Kristus
sendiri memberikan kepada gereja-Nya pejabat-pejabat/pelayan-pelayan khusus.
Para pejabat dan pelayan tersebut adalah primer dan terutama untuk
memperlengkapi warga gereja bagi suatu pekerjaan memelihara kehidupan yang
mengacu kepada kerajaan Allah. Jadi yang diperlengkapi adalah orangnya dan
bukan gedungnya atau organisasinya, atau kalau organisasinya dan gedungnya
dibenahi, maka itu hanya untuk menunjang usaha mengfungsikan anggota-anggotanya
secara efektif. Jadi sekali lagi, starting point, focusing point and finishing
point adalah orangnya, bukan gedungnya. Di sinilah tampak secara jelas pentingnya PWG.
c. Gereja Dalam Pemahaman Praktis
Menurut Lawrence O. Richards, dalam bukunya A Theology of Christian Education, bahwa
pemahaman mengenai hakikat, sifat dan tugas gereja yang kita anut, akan sangat mempengaruhi
pola pikir kita sendiri terhadap tugas gereja dalam pendidikan atau pembinaan.[3] Dilandasi dengan pengertian ini, maka pemahaman
yang jelas oleh umat, khususnya para “elite” gereja tentang gereja harus dirumuskan
secara tepat dan disosialisasikan.
Menurut urgensinya, hal ini merupakan sesuatu yang tidak bisa lagi
ditunda-tunda. Karena apabila tidak, akan terjadi penyalahgunaan dan atau
pemanfaatan institusi gereja dengan label pelayanan demi mewujudkan ambisi
pribadi, kerakusan dan kepentingan pribadi atau kelompok-kelompok tertentu. Dan
kalau itu terjadi, akibatnya praktek dan perilaku sekuralisasi gereja terjadi.
Gereja dapat menjadi arena perebutan kekuasaan, pengumpulan kekayaan, penerusan
kerajaan, tempat perdagangan agama yang sangat populer, dll. Ada beberapa
pemahaman praktis yang dapat dilekatkan pada gereja, seperti yang diuraikan
berikut ini:
- Gereja
sebagai suatu organisasi
Organisasi gereja tidak diuraikan secara tegas di
dalam Perjanjian Baru. Organisasi gereja disinggung hanya sedikit saja oleh
Kristus dalam Matius 18, ketika Ia berbicara tentang pembuktian fakta mengenai
suatu perselisihan melalui pemeriksaan bersama oleh jemaat. Ketika kekuasaan
para rasul berlalu, tampaknya organisasi kolektif yang menggantikannya. Sebagai
contoh, dalam Kisah Para Rasul 8 Petrus menentang Simon si tukang sihir
berdasarkan kekuasaan sepihak. Beberapa tahun kemudian, Rasul Paulus menulis
kepada jemaat di Korintus bahwa mereka mempunyai tanggung jawab bersama untuk
menghakimi orang-orang jahat yang ada di tengah-tengah mereka (1 Kor. 5:13). Di
dalam gereja mula-mula organisasi merupakan upaya menanggapi
kebutuhan-kebutuhan dan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh gereja. Sebagai
contoh yang paling jelas tentang pemilihan diaken dalam Kisah Para Rasul 6.
Tetapi dalam perkembangannya lebih lanjut, tidak bisa dihindari bahwa gereja dalam
perjalanan tugas dan tanggung jawab kesaksiannya menghadapi multi tugas harus dikerjakannya, termasuk di dalamnya
PWG. Hal inilah yang mendorong gereja untuk harus menjadi suatu organisasi yang
mampu menerapkan elemen-elemen organisasi dan kepemimpinan secara benar dan
relevan.
- Gereja
sebagai suatu organisme
Untuk memahami
gereja sebagai suatu organisme, ada baiknya kita mengutip apa yang dikemukakan
oleh William W. Menzies dalam bukunya “Doktrin Alkitab”. Ia berkata bahwa “gereja lebih dari sekedar
organisasi; gereja adalah organisme yang hidup. Kepala Gereja adalah Yesus
Kristus (Ef.1:22,23), yang memelihara gereja, serta memberikan nhidup rohani
kepadanya. Akan tetapi, organisme yang hidup harus mempunyai struktur. Dalam
dunia ini tidak ada yang lebih hebat organisasinya daripada sel hidup yang
paling sederhana. Demikian pula, gereja adalah susunan bagian-bagian yang rapih
dan tersusun, susunan yang ditemukan
bila menyelidiki pola gereja Rasuli. Struktur yang dinyatakan dalam
Perjanjian Baru sangat sederhana, namun prinsipnya ialah bahwa hanya organisasi
yang penting bagi kelangsungan kehidupan gereja harus dipakai.[4] Apa yang dikemukakan oleh Menzies
di atas dapat kita mengambil suatu kesimpulan bahwa gereja memiliki dimensi
illahi dan insani. Illahi karena lahir dari karya Roh Kudus dan insani karena
membutuhkan penataan dari manusia dalam suatu realitasnya sebagai organisasi.
d. Kedudukan dan Tugas Ganda Gereja
- Kedudukan
Gereja
Dalam rangka memahami kedudukan gereja, menarik
apabila kita memperhatikan apa yang Homrighausen katakan tentang gereja. Ia
mengatakan, kedudukan gereja harus
dilihat dari tiga aspek, yaitu: gereja adalah pemberian Allah, gereja adalah
suatu organisasi di tengah-tengah masyarakat dan gereja merupakan suatu badan
yang melakukan fungsinya yang istimewa di antara umat manusia.[5] Dari tiga aspek ini, khususnya aspek yang
ketiga sangat terkait erat dengan tugas PWG. Disebutkan sebagai tugas istimewa
oleh karena tugas PWG dimandatkan Allah bukan kepada lembaga-lembaga
non-gereja, melainkan memang telah menjadi salah satu tugas khusus gereja.
Gerejalah yang harus bertanggung jawab
terhadap segala jenis pendidikan/pembinaan iman warga gereja. Apabila gereja
melalaikan tugas tersebut, maka ia telah melalaikan salah satu hakikat dirinya.
- Tugas Ganda
Gereja Dalam PWG
Tugas gereja harus dipahami, dibangun dan
dikembangkan dalam suatu dimensi yang bersifat komprehensif. Tugas Gereja bukan hanya membimbing umat untuk beriman dan memiliki
hubungan dengan Tuhan, melalui kegiatan-kegiatan pembinaan, seperti dalam
bentuk khotbah-khotbah pada acara-acara kebaktian, pemasyuran Injil,
pendalaman-pendalaman Alkitab, dan lain-lain, tetapi harus pula memperlengkapi
dan mendorong umat berbuat sesuatu sesuai bidang kemampuannya, agar menjadi
berkat dalam suatu kehidupan konkret terhadap sesamanya. Di sinilah tampak
secara jelas pentingnya suatu proses pendidikan atau pembinaan yang bersifat
holistic (artinya pendidikan yang menyentuh seluruh aspek hidup manusia, baik
rohani maupun pengetahuan dan keterampilan umum) dalam suatu gereja. Dengan
demikian tugas pencerdasan warga gereja adalah juga salah satu tugas pokok dari
gereja itu sendiri. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Daniel
Aleshire, ia mengatakan, salah satu (artinya
masih ada yang lain) maksud dari gereja adalah “the church must educate
its members”.[6] Salah
satu maksudnya adalah agar warga gereja menjadi warga yang terdidik sehingga
memahami secara benar isi imannya (content of the faith), memahami secara benar
apa yang benar dan salah, memahami dan mampu mengkomunikasikan imannya ke dalam
kehidupan konkrit, memahami dan mampu melakukan sesuatu yang memberi makna bagi
hidupnya dan hidup orang lain.
Penekanan
utama dalam proses belajar yang dijalankan bagi warga gereja, hendaknya tidak
merupakan suatu proses untuk memiliki sesuatu, melainkan lebih diarahkan
sebagai suatu proses untuk menjadi sesuatu. Hal ini tidak dimaksudkan bahwa
sertifikat yang kita dapatkan melalui suatu proses pendidikan tidak berarti
apa-apa, sehingga sebaiknya dibuang saja. Bukan itu yang dimaksud ! Sekali lagi, bukan.
Tetapi adalah benar bahwa apalah artinya kita memiliki sejumlah sertifikat yang kita dapatkan dari berbagai lembaga
pendidikan, baik yang sifatnya formal maupun yang sifatnya non-formal, kalau
ternyata hidup kita hidupi ini ternyata tidak berguna secara maksimal, baik
untuk diri kita sendiri maupun terhadap sesama. Karena itu, hendak diberi
penekanan sekali lagi bahwa yang jauh lebih terpenting adalah ketika hidup ini bisa
menjadi sesuatu artinya bahwa melalui kehidupan kita ada suatu manfaat yang
dirasakan, baik oleh diri kita maupun oleh sesama yang ada di sekitar kita.
e. Gereja Sebagai Pengembang
Strategi Pembinaan
Gereja yang dilukiskan
sebagai tubuh Kristus merupakan suatu organisme Illahi yang terus menerus berkembang. Suatu organisme tidak pernah
berhenti dalam perkembangannya, karena perkembangan adalah tanda-tanda adanya
suatu kehidupan dalam organisme tersebut. Organisme yang bertumbuh itu perlu
diatur dan ditata pertumbuhannya (perkembangannya) agar ia bertumbuh atau
berkembang secara sehat sesuai dengan yang diharapkan. Gereja, selain sebagai
organisme, ia juga merupakan suatu organisasi yang dalam melaksanakan tugasnya
harus tertata rapih secara terstruktur sehingga tercapai pencapaian hasil yang
maksimal.
Setiap organisasi apapun;
organisasi pemerintahan, organisasi politik, organisasi kemsyarakatan (termasuk
di dalamnya organisasi gereja), organisasi bisnis, dll. di dunia ini pasti
bekerja dengan menggunakan pola strategi. Karena keberhasilan suatu organisasi,
sangat ditentukan pula oleh jenis strategi yang digunakan. Berkenaan dengan
tugas gereja sebagai pengembang strategi pembinaan, maka ada beberapa hal
terkait yang perlu dipaparkan sebagai berikut:
1. Menetapkan Profil Warga Gereja
Yang Diharapkan
Ketika kita hendak melakukan suatu pembinaan
terhadap warga gereja; pertama-tama kita harus memunculkan pertanyaan tentang profil
warga jemaat yang bagaimana, yang diharapkan ? Karena dengan adanya pertanyaan
seperti ini, maka akan menjadi dasar dan sekaligus pemberi arah dalam
keseluruhan pengembangan strategi pembinaan yang akan dilakukan. Contoh,
profil warga jemaat yang diharapkan oleh Gereja Bethel Indonesia “adalah
mempersiapkan warga jemaat yang seperti Kristus” (ini hanya sebagai
salah satu contoh saja).
Setelah profil hasil pembinaan ditetapkan, maka
pertanyaan berikutnya adalah kebutuhannya apa ? Pada saat kita
berbicara tentang kebutuhan, maka ada beberapa factor yang harus menjadi
perhatian khusus, yaitu: analisis kebutuhan, model-model analisis kebutuhan dan
strategi-strategi analisis kebutuhan. Untuk ketiga aspek ini, saya akan
mengutip apa yang dikemukakan oleh Pdt. Japarlin Marbun, dalam tulisannya yang berjudul “Gembala
Jemaat Sebagai Pengembang Program Gereja” dalam buku “Gnosis“; Merajut Pemahaman Transformasi
Gereja dan Pergumulan Teologi Kekinian”, sebuah jurnal teologi yang diterbitkan
oleh BPD GBI DKI Jakarta. Dalam tulisannya, beliau menekankan tiga aspek dengan
mendasarkan paparannya, seperti pada apa yang telah dikemukakan oleh Kaufman,
Briggs., Lesle., J.Walter., W.Wagner dan Alisson Rosset. Ia menjelaskan tiga aspek sebagai
berikut.[7]
·
Analisis
Kebutuhan
Dari sekian banyak kebutuhan yang mungkin
dirasakan oleh seseorang, maka tidak semuanya kebutuhan itu dapat dipenuhi pada
suatu saat. Oleh karena itu diperlukan adanya usaha untuk mengidentifikasi
serta menentukan skala prioritas mana yang lebih dahulu dari
kebutuhan-kebutuhan tersebut yang didahulukan. Kesenjangan yang dibutuhkan
pemecahannya itulah yang disebut masalah atau kekurangan dari yang seharusnya
ada dengan yang ada pada saat tertentu. Dengan demikian, maka kesenjangan yang
dibutuhkan pemecahannya disebut masalah. Salah
satu contoh masalah, kalau kita mengacu pada para profil warga jemaat yang
diharapkan dari GBI, yaitu “mempersiapkan warga jemaat yang seperti Kristus”,
maka masalahnya adalah seperti apa
performance warga jemaat yang seperti Kristus ? Apa indikasinya ?.
Menurut Kaufman, masalah adalah tidak lain dari
“selected gap” atau kesenjangan yang diprioritaskan pemecahannya berdasarkan
kepentingannya. Usaha untuk mengidetifikasi, mengukur kebutuhan dan menentukan
prioritas pemecahannya dikenal dengan istilah “need assessment” atau “discrepancy
analysis” atau analisis kebutuhan. Menurut Knirk & Pinola, analisis
kebutuhan adalah proses yang sistematis untuk membandingkan apa yang telah ada
dengan apa yang seharusnya. Sementara Alisson Rosset, menjelaskan bahwa
analisis kebutuhan adalah suatu kegiatan atau proses di mana seseorang
melakukan identifikasi atau mencari informasi
tentang kebutuhan-kebutuhan dan menentukan cara yang paling tepat untuk
menyelesaikannya. Dari beberapa pendapat di atas jelaslah bahwa: analisis
kebutuhan adalah proses menentukan jarak atau kesenjangan antara hasil yang
dicapai sekarang dengan hasil yang sesungguhnya diinginkan/dikehendaki serta
menetapkan kesenjangan tersebut dalam urutan skala prioritas. Jadi hasil akhir
dari analisis kebutuhan adalah ditemukannya sejumlah kesenjangan antara kondisi
yang ada dengan kondisi yang seharusnya ada serta skala prioritas pemecahan
berdasarkan tingkat urgensinya.
·
Model-model
Analisis Kebutuhan
Menurut Kaufman, model-model analisis kebutuhan
dapat diklasifikasi sebagai berikut:
a. Model Alpha
Analisis kebutuhan model alpha mendasarkan
analisisnya dari bawah, yaitu penekanannya pada identifikasi masalah
berdasarkan pada tataran kebutuhan. Model ini sangat cocok untuk perumusan dan
pelaksanaan kebijakan.
b. Model Beta
Analisis kebutuhan model beta memberikan penekanan
pada fungsi kedua yaitu penentuan syarat pemecahan dan pengidentifikasian
alternative pemecahan masalah. Jadi model kedua ini lebih banyak berhubungan
dengan organisasi yang berinisiatif
mengadakan analisis kebutuhan.
c. Model Gamma
Analisis kebutuhan model gamma dilaksanakan dengan
meminta kesediaan orang-orang untuk menyusun urutan/menyeleksi tujuan umum dan
tujuan khusus yang ada agar ditemukan suatu daftar tujuan yang disusun
berurutan. Kemudian dipilih strategi-strategi pemecahan di antara
strategi-strategi yang telah ditentukan.
d. Model Delta
Analisis kebutuhan model delta dipergunakan untuk
menentukan/ memutuskan apa yang akan dilakukan dan bagaimana cara melakukannya.
Jadi pada tahap ini metode diimplementasikan dengan peralatan yang telah
diseleksi, dengan kata lain tahap ini adalah tahap pelaksanaan di lapangan dan
manajemen penyelesaian tugas.
e. Model Epsilon
Model ini berhubungan dengan penentuan sejauhmana
hasil yang diinginkan telah dicapai. Dalam hal ini, suatu yang telah
direncanakan, dikembangkan dan digunakan dalam strategi operasional dinilai
apakah dapat bekerja atau tidak. Dalam tahap ini efektifitas dari metode dan
peralatan dapat ditentukan sehingga tahap ini sering juga disebut sebagai
evaluasi sumatif dari analisis kebutuhan.
f. Model Zeta
Model zeta adalah model yang dapat dipergunakan
untuk mengadakan pembaharuan atau perubahan system yang bersifat konstan dan
berkesinambungan sehingga dimungkinkan adanya revisi apabila diperlukan.
·
Strategi-strategi
Analisis Kebutuhan
Strategis
analisis kebutuhan dapat dihubungkan dengan pencarian pemecahan dalam berbagai
bidang yang dianggap memerlukan pemecahan terhadap sesuatu kebutuhan. Dan jika analisis kebutuhan dihubungkan
dengan kegiatan pendidikan dan latihan, maka menurut Kaufman, dapat
diidentifikasi tiga strategi analisis kebutuhan, yaitu:
- Strategi
Klasik
Strategi klasik dimulai dari penentuan tujuan yang
sifatnya umum (generic), kemudian dilanjutkan dengan pengembangan dan
selanjutnya diadakan evaluasi program. Strategi ini dilakukan oleh
pengembang program pendidikan dan latihan.
- Strategi
Induktif
Strategi
induktif adalah proses induksi yang bertolak dari pendapat patner dan data
empiric dari lapangan kemudian berdasarkan data tersebut dirumuskan tujuan umum
yang diinginkan. Selanjutnya diukur
jarak antara tujuan umum dengan data yang didapat dari lapangan.
- Strategi
Deduktif
Strategi deduktif bertolak dari perumusan tujuan
umum yang diinginkan dilanjutkan dengan pengumpulan data dari lapangan.
Selanjutnya diukur perbedaan antara tujuan umum dengan data yang ada di
lapangan. Dengan demikian analisis kebutuhan yang berdasarkan strategi deduktif
dapat dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
·
Pertama, dilakukan identifikasi tujuan-tujuan
yang mungkin dapat dicapai. Artinya dalam tahap ini akan didaftar semua tujuan
yang mungkin dicapai tanpa mempertimbangkan urgensinya. Tujuan-tujuan
tersebut dirumuskan secara operasional disertai dengan criteria performance.
·
Kedua, disusun tujuan-tujuan berdasarkan skala
prioritas. Tujuan dari kegiatan ini adalah menyusun/mengurutkan tujuan-tujuan
yang telah diidentifikasikan berdasarkan kepentingannya, sehingga akan
kelihatan urutan dari tujuan yang terpenting sampai kepada tujuan yang kurang
penting.
·
Ketiga, mengidentifikasi kesenjangan antara
performance yang ada dengan performance yang diharapkan. Kegiatan pertama dalam
tahap ini ialah mendeskripkan tingkat performance dari objek system yang ada,
selanjutnya dibandingkan dengan performance sebagaimana disyaratkan dalam
tujuan.
Untuk lebih jelasnya, Kaufman mengidentifikasi
sembilan langkah yang perlu ditempuh dalam mengukur kebutuhan sebagai berikut:
·
Pertama, menyusun rencana
·
Kedua,
mengidentifikasi gejala masalah berdasarkan permintaan dari lembaga pendidikan
dan latihan untuk mengadakan pengukuran kebutuhan.
·
Ketiga, menentukan ruang lingkup
·
Keempat, mengidentifikasi peralatan dan prosedur
penilaian kebutuhan, selanjutnya memilih yang terbaik bekerja sama dengan
patner dalam melakukan perencanaan.
·
Kelima,
merumuskan keadaan yang ada sekarang dalam bentuk perumusan performance yang
spesifik dan dapat diukur.
·
Keenam,
Merumuskan kondisi yang diharapkan dalam rumusan yang spesifik dan dapat diukur.
·
Ketujuh,
mempertemukan perbedaan pendapat yang ada antara patner dengan peneliti dalam
mengidentifikasi tujuan sehingga diperoleh kesepakatan antara peserta
pelatihan, pengguna lulusan dan pengembang program pelatihan.
·
Kedelapan,
mengurutkan kebutuhan-kebutuhan tersebut menurut skala prioritas dan menurut
urgensinya.
·
Kesembilan, merumuskan penilaian kebutuhan
serupa agar tetap “up to date”.
Kesembilan
langkah ini masih dapat disesuaikan dengan keperluan, ataupun tergantung pada
siapa yang melakukan perencanaan, di mana perencanaan itu dilaksanakan dan
pertimbangan-pertimbangan lainnya.
2. Menetapkan PWG Sebagai Tugas
Primer Gereja
PWG merupakan suatu usaha
gereja secara sengaja untuk membimbing setiap warga gereja; khususnya yang
sudah dewasa agar bertumbuh ke arah
kedewasaan penuh di dalam Kristus. Dengan pertolongan dan bimbingan Roh Kudus
serta dengan tuntunan firman-Nya, warga jemaat dimampukan secara maksimal dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai mediator berkat bagi dunia ini.
Hal ini dimungkinkan, hanya apabila PWG dilaksanakan secara baik dan
bersinambung oleh gereja terhadap warganya.
Dilandasi dengan pemahaman
di atas, maka dapat disimpulkan bahwa PWG adalah salah satu tugas sentral dari
gereja. Dengan demikian, apabila gereja melalaikan tugas pelaksanaan PWG, maka
ia dapat dikatakan telah melalaikan salah satu hakikat dirinya. Di sinilah
tampak semakin jelas bahwa PWG haruslah menjadi tugas primer gereja dan bukan
merupakan tugas sekunder.
Sayang sekali bahwa ternyata
masih banyak diantara gereja Tuhan di Indonesia belum memposisikan PWG sebagai
bagian dari tugas primer gereja. Bukan bermasud bahwa tidak penting; bahwa gereja
dalam realitas kehidupan dan pelayanannya masih lebih cenderung “concern”
terhadap pelaksanaan ibadah-ibadah raya dalam bentuk KKR di gedung-gedung
besar, di lapangan-lapangan terbuka, dll.,jika dibandingkan dengan
pembinaan-pembinaan warga dalam bentuk kelompok yang lebih kecil. Namun yang
menjadi masalah adalah bahwa kegiatan-kegiatan seperti KKR cenderung lebih
bersifat umum, dasar dan tidak focus. Untuk sebagai starting point bagi
pemenangan jiwa-jiwa baru bagi Kristus, pendekatan ini bisa sangat efektif,
tetapi untuk pembinaan warga, agar menjadi bertumbuh khususnya dalam kualitas
iman, maka pendekatan yang paling memadai adalah PWG dalam bentuk
kelompok-kelompok yang lebih kecil.
Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum yang terstruktur dan
disesuaikan dengan jenis serta tingkat kebutuhan warga (peserta didik).
3. Melakukan “Training for the Trainers”.
Di baris terdepan setiap pelayanan Kristen selalu dibutuhkan
orang-orang yang benar-benar terlatih, orang-orang yang memiliki komitmen yang
jelas terhadap Pribadi Kristus, orang-orang yang tahu bagaimana cara
mengembangkan pekerjaan Kristus di atas muka bumi ini; khususnya dalam suatu
situasi khusus seperti pada masa kini yang kita kenal sebagai abad kejayaan
teknologi, yang sarat dengan berbagai tantangannya.
Dilandasi dengan pemahaman di atas dan untuk mewujudkan kerinduan kita
terhadap pentingnya dilaksanakan “training for the trainers”, maka ada baiknya
kita munculkan tiga pertanyaan seperti : mengapa harus memilih dan melatih
orang-orang, bagaimana memilih dan melatih orang-orang, siapa yang harus
dipilih dan dilatih ?
·
Mengapa harus memilih dan melatih orang ?
Pertanyaan ini dapat saja dijawab dengan sebanyak
mungkin jawaban, akan tetapi saya hanya memberikan dua alasan sebagai jawaban
terhadap pertanyaan di atas, yakni: Pertama, kita memerlukan orang-orang yang mampu. Seringkali di dalam suatu
gereja, ketika menyusun dan menetapkan para tenaga pelayan yang nantinya
ditugasi untuk melakukan serangkaian tugas pelayanan seperti penjangkauan
jiwa-jiwa yang belum terselamatkan untuk dibawa kepada Kristus; tampaknya belum
melalui suatu mekanisme yang normal, artinya masih terkesan “asal
pilih”, “asal ada”, dsb. Akibatnya, hasil pelayanannya sangat buruk
bahkan menimbulkan frustrasi baru, baik bagi gereja (tenaga penjangkau) maupun
juga bagi orang-orang yang mau dijangkau tersebut. Bila itu memang kenyataannya, maka tampaklah
di sini pentingnya suatu proses memilih seseorang dan menetapkannya untuk suatu
tugas pelayanan di dalam suatu gereja berdasarkan prinsip “orang yang tepat
untuk suatu pekerjaan yang tepat”. Artinya bahwa diperlukan suatu kejelihan
memilih orang, di samping berdasarkan
kemampuannya tetapi juga perlu diikuti dengan pelatihan-pelatihan terstruktur
(sesuai dengan jenis kebutuhan dan tugas yang akan dimandatkan oleh gereja
kepadanya) dalam rangka mempertajam ketrampilannya guna melaksanakan tugas
pelayanan yang dipercayakan kepadanya. Kedua, tuntutan beban tugas pelayanan dan kesinambungannya. Tanpa suatu
proses pemilihan dan pelatihan yang berkesinambungan di dalam Tubuh Kristus,
maka saya memprediksi bahwa para pemimpin Kristen yang jumlahnya sangat
sedikit akan kelebihan beban pekerjaan, sehingga pada akhirnya mereka akan
kehabisan tenaga. Salah satu contoh yang menarik dalam Alkitab, untuk contoh
kasus adalah Musa. Ia sedang berada pada titik kelelahan jasmani, emosi dan
rohani pada saat ia berusaha mengurus sekitar dua juta orang atau lebih yang
keluar dari Mesir. Tetapi kemudian, Yitro, ayah mertuanya yang bijaksana,
memperhatikan apa yang sedang terjadi dan mengingatkan Musa bahwa ia sedang
menyiksa dirinya sendiri jika ia tidak mulai mengadakan proses pemilihan dan
pendelegasian tugas (bnd. Kel. 18:13-18). Dengan demikian dapat juga dipahami
bahwa proses pemilihan dan pelatihan orang-orang dalam suatu organisasi
(termasuk organisasi gereja), terkait erat dengan pendelegasian tugas, agar
tugas organisasi ke depan berjalan lebih signifikan. Contoh, ketika Musa
meninggal dunia, bangsa Israel tidak menghadapi masalah kepemimpinan oleh
karena Musa telah melatih dengan sungguh-sungguh orang yang akan
menggantikannya, yaitu, Yosua (bnd. Yosua 11:15).
·
Bagaimana memilih dan melatih orang?
Mengacu pada pertanyaan bagaimana memilih dan
melatih seseorang, bukanlah sesuatu yang gampang dijawab. Karena itu, ada empat
hal penting yang perlu diperhatikan. Pertama, lakukan pengamatan secara
dekat dan cermat. Kedua, adakan pra-pelatihan kepada orang-orang yang dipilih
(bnd. Markus 3:14; suatu strategi yang digunakan oleh Yesus Kristus dan itu
sangat efektif). Ketiga, sikap doa (bnd. Lukas 6:12-16). Dalam proses pemilihan,
pengamatan terhadap orang-orang dan latihan yang tepat sangatlah penting.
Walaupun demikian, hal-hal tersebut tidak dapat menggantikan fungsi doa di mana
mencari Allah untuk memilih orang-orang yang telah ditetapkan-Nya.
Meskipun Yesus telah mengenal murid-murid yang
telah mengikutiNya dan yang berada dekat dengan-Nya selama kurang lebih satu
tahun, Ia tidak menggantungkan diri pada kemampuan-Nya sendiri dalam menentukan
pilihan. Ia meluangkan waktu semalam-malaman untuk berdoa kepada Allah,
sehubungan dengan pemilihan yang akan dilakukan-Nya. Yesus menyadari betapa
pentingnya proses pemilihan ini. Di atas bahu merekalah terletak seluruh masa
depan gereja. Oleh karena itu, Yesus tidak sembarangan dalam memilih, melainkan
dengan penuh kesungguhan dan doa.
Dan terbukti bahwa Allah sungguh-sungguh menjawab
doa-Nya. Alkitab mencatat keyakinan Yesus yang dalam, yaitu bahwa
murid-murid-Nya adalah orang-orang yang telah diberikan oleh Allah kepada-Nya.
Yesus sangat menyadari bahwa orang-orang ini adalah hamba-hamba Allah yang
dipercayakan kepada-Nya (bnd. Yohanes 17:6-9). Keempat, sesuai dengan
karunia. Alkitab menyebutkan dengan
jelas bahwa bagi setiap anak Allah, Roh Kudus telah memberikan satu atau
beberapa karunia rohani (bnd. 1 Kor. 12:7). Karunia-karunia ini diberikan
dengan tujuan untuk membangun segenap Tubuh Kristus. Jika setiap orang
menggunakan karunianya masing-masing serta melatih orang-orang lain sesuai
dengan karunianya itu, maka Tubuh Kristus akan dibangun dan orang-orang percaya
diperlengkapi untuk melayani (bnd. Efesus 4:11-12).
·
Siapa yang dipilih dan dilatih ?
Yitro sangat bijaksana ketika ia menasihatkan Musa
tentang siapa yang harus dipilih untuk menolong Musa dalam kepemimpinannya.
Yitro menyadari bahwa jika ia memilih orang-orang yang keliru, maka hasilnya
akan lebih buruk daripada sama sekali tidak ada orang yang membantu (bnd. Kel.
18:21). Ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian kita dalam rangka
menetapkan siapa yang akan dipilih dan dilatih, yakni: Pertama, berkaca kepada
teladan Musa (syaratnya: cakap, jujur, takut akan Allah, tidak dapat
disuap=Kel. 18:21), Paulus (2 Tim. 2:2) dan Para Rasul (Kisah Rasul 6:2-3). Kedua,
setia. Kesetiaan adalah suatu sifat yang jarang ditemukan dan yang semakin
sukar untuk didapat pada abad eksistensial sekarang ini, karena banyak orang
tidak memiliki rasa tanggung jawab (bnd. Amsal 20:6). Ketiga, bersedia. Banyak
orang yang mempunyai potensi besar untuk memimpin dan memuridkan namun
mengurangi potensi yang ada di dalam diri mereka oleh karena mereka tidak turut
ambil bagian dalam mewujudkan kepemimpinan serta pemuridan. Penyebabnya adalah
karena tidak adanya kesediaan. Mereka gagal untuk hidup sesuai dengan
prioritas-prioritasnya dan mendapati bahwa “benteng keterdesakan” memaksa
mereka semakin jauh dari sasaran-sasaran serta nilai-nilai yang kekal. Keempat,
senang diajar. Sifat penting lainnya yang perlu dicari dalam proses pemilihan
adalah sifat senang diajar. Jika seseorang tidak terbuka dan tidak rela untuk
belajar maka ia tidak akan pernah dapat melayani atau memimpin secara harmonis
dalam Tubuh Kristus. Seorang yang tidak senang diajar lama kelamaan akan
menjadi orang yang tidak bergairah dan
statis-ia hanya berada dalam pola-pola yang kaku, yang menghapuskan
keefektifannya.
Salah satu alasan mengapa Allah tidak bekerja
melalui orang-orang Farisi adalah karena mereka mempunyai sikap yang tidak
senang diajar. Mereka mengira bahwa mereka sudah tahu tentang segala hal.
Walaupun mereka adalah orang-orang yang super setia dan bersedia dalam mentaati
hukum Taurat, namun mereka memiliki sikap tidak senang diajar terhadap
Perjanjian Kristus yang Baru, dan oleh karena itu, maka Yesus harus melewatkan
mereka pada saat Ia memilih orang-orang.
Tidak peduli berapa banyak pengetahuan seseorang,
ia harus menyadari bahwa masih ada begitu banyak hal yang harus dipelajari dari
Allah kita yang tidak terbatas itu. Jika kita senantiasa terbuka untuk diajar
tentang hal-hal yang baru dari Dia, kita akan mendapati bahwa kita memiliki
kapasitas yang semakin meningkat untuk mengatasi berbagai situasi dalam
kehidupan. Kelima, lahir baru (hal ini sangat penting dan menentukan).
Bertumbuh di dalam Kristus serta memiliki keintiman (hubungan special)
dengan-Nya. Mampu secara konsisten memperlihatkan buah-buah Roh Kudus di dalam
keseluruhan penampilan hidup kesehariannya, sebagaimana yang disebutkan dalam
Galatia 5:22-23.
4. Menunjuk dan Menetapkan Tim (Panitia) Khusus PWG
Alan Brache, berkata “hanya sedikit manajer yang memiliki
pendekatan sistematis
untuk memaksimalkan produktivitas tenaga kerja”.
Statement ini menunjukkan betapa pentingnya
tenaga pelayan dan atau warga jemaat yang terlibat dalam suatu proses
tugas pelayanan, ditingkatkan kemampuan dan keterampilannya. Namun dalam usaha
tersebut perlu ditempuh langkah-langkah yang sistematis agar pencapaian
hasilnya maksimal. Proses langkah awal yang perlu dikerjakan adalah penunjukan
dan penetapan team (panitia) khusus pelaksana program PWG. Hal-hal yang perlu
menjadi perhatian utama dari proses awal ini adalah orang-orang yang direkrut
haruslah terdiri dari orang-orang yang memang memiliki kemampaun dan keahlian
di bidangnya sesuai dengan kebutuhan program yang akan dikerjakan.
Team khusus inilah yang akan memikirkan dan
mempersiapkan seluruh kebutuhan PWG (khususnya juga kebutuhan financial) dan
teknis pelaksanaannya dalam suatu gereja lokal ataupun pada tingkat sinodal.
Seperti yang telah disinggung di atas, maka orang-orangnya adalah yang memang memiliki
kemampuan dan keterampilan yang lebih.
5. Menyusun Kurikulum Berbasis
Kebutuhan
Disain kurikulum harus didasarkan pada kebutuhan
dan profil warga jemaat yang diharapkan setelah mengikuti PWG. Karena itu yang
harus dikerjakan terlebih dahulu di sini adalah menetapkan indicator profil
warga jemaat yang diharapkan, kemudian identifikasi kebutuhan serta metodologi apa
saja yang diperlukan dan dapat digunakan dalam rangka pencapaian profil
tersebut tadi. Langkah-langkah praktisnya adalah diperlukan data dan pengenalan
lapangan layanan. Kalau hal itu sudah dikerjakan, maka kurikulum sudah dapat
disusun.
6. Sosialisasi Program
Sebelum program disosialisasikan, terlebih dahulu harus
mendapat persetujuan formal dari pimpinan (gembala sidang), agar proses
sosialisasinya tersambut oleh warga jemaat. Mekanisme sosialisasinya adalah : melalui pengumuman resmi di gereja
(sebaiknya oleh pimpinan/sedapat mungkin gembala siding), dimuat di dalam warta
jemaat, dan atau dapat juga dimuat di majalah-majalah gereja.
7. Penyediaan Sarana Pendukung
Yang dimaksud dengan sarana pendukung di sini adalah tempat
(fasilitas) pelaksanaan PWG yang berupa gedung, ruang belajar dan seluruh
perlengkapan belajarnya. Di samping itu, yang tidak kalah pentingnya adalah
tersedianya buku-buku sumber.
[1]
French L. Arrington, Christian Doctrine; A Pentacostal
Perspective, Volume three, (Tennessee :
Pathway Press), 165
[2]
Sularso Sopater, ed., Seri Membangun Bangsa; Kepemimpinan dan
Pembinaan Warga Gereja (Jakarta: Sinar Harapan, 1998), 71-73
[3] Lawrence O. Richards, A
Theology of Christian Education (Grands Rapid: Zondervan Publishing
House, 1975), 120.
[4]
William W. Menzies dan Stanley M. Horton, Doktrin Alkitab (Malang: Gandum Mas,
1998), 177.
[5]
E.G. Homrighausen, Pendidikan Agama Kristen (Jakarta :
BPK Gunung Mulia, 2001), 53.
[6]
Bruce P. Powers, ed., Christian Education Handbook; Resources for
Church Leaders (Nashville: Broadman Press, 1981), 32.
[7] M.
Ferry H. Kakiay, ed., Gnosis; Merajut Pemahaman Transformasi
Gereja dan Pergumulan Teologi Kekinian (Jakarta : BPD GBI DKI, 2003). Japarlin Marbun,
dalam judul tulisannya: Gembala Jemaat Sebagai Pengembang Jemaat,
hal. 90-95.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar