Selasa, 09 Juli 2013

SENTRALITAS GEREJA DALAM PEMBINAAN WARGA GEREJA

SENTRALITAS GEREJA DALAM PWG
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

Ketika kita mulai berbicara tentang pendidikan, dan atau pembinaan, biasanya asosiasi berpikirnya langsung terarah pada lembaga-lembaga “sekolah”, lembaga-lembaga kursus yang formal maupun non-formal. Padahal media atau konteks pendidikan bisa dilakukan oleh keluarga (di rumah), gereja, sekolah, kursus-kursus, bahkan lingkungan masyarakat di mana saja seseorang itu hadir. Masing-masing konteks pendidikan mempunyai “core” tugasnya. Dalam kaitannya dengan pendidikan iman Kristiani, di samping menjadi tugas utama dari pendidikan dalam keluarga, tetapi juga menjadi tugas penting dari gereja.  Karena itu pembinaan warga gereja adalah merupakan wilayah tanggung jawab utama dari gereja, bukan keluarga, sekolah atau kursus, dll. Karena itu, gereja tidak dibenarkan apabila melemparkan tanggung jawab itu kepada institusi-institusi lain, seperti sekolah, dll.
Dalam realitas pelaksanaan tugas pelayanan gereja, khususnya di bidang PWG, belum terlaksana secara komprehensif. Artinya bahwa bisa saja sebagian sudah terlaksana, misalnya telah melakukan ibadah di gedung gereja yang diisi dengan pujian, kesaksian umat dan kemudian mendengarkan khotbah pendeta. Tetapi sebenarnya itu barulah merupakan sebagian kecil dari sekian banyak tugas pembinaan gereja terhadap umat yang dipercayakan dan diperhadapkan Tuhan kepadanya. Pembinaan warga gereja seharusnya bersifat komprehensif, yaitu menyentuh dan atau menjawab seluruh konteks kebutuhan umat.
Dilandasi dengan pokok pikiran di atas, maka pada bagian ini, pertama-tama  secara khusus akan dibahas tentang pengertian gereja dan posisi sentralitasnya dalam pelaksanaan tugas PWG. Asumsi dasarnya adalah jika pemahaman kita terhadap hakikat gereja jelas dan tepat, maka itu akan menjadi modal serta sekaligus sebagai pemberi arah yang akurat bagi pelaksanaan dan pencapaian sasaran (goal) PWG, baik dalam konteks gereja lokal, sinodal maupun gereja dalam arti universal. Dilandasi dengan asumsi tersebut, maka perlu dipaparkan  beberapa point penting berikut ini :

a.   Pengertian Gereja Secara Teologis
      Tulisan ini tidak persiapkan untuk melakukan studi kata (word study) tentang “gereja”, melainkan lebih diarahkan  pada tataran pengertiannya; baik pengertian teologis maupun pengertian praktis. Salah satu pengertian teologis tentang gereja, diungkapkan oleh French L. Arrington dalam bukunya “Christian Doctrine; A Pentecostal Perspective” : The Church is the community of faith. Where the word of God is preached and received by faith there is the church.[1] Tetapi pada  sisi lain,   gereja dapat pula didefinisikan sebagai sebuah persekutuan yang diberi spesifikasi atau konotasi yang khusus, yaitu sebagai persekutuan orang-orang percaya, yang dipanggil, dipilih dan dikuduskan untuk menjadi berkat bagi semua orang atau sesama manusia (bnd. Kej. 12:2-3; Kel. 19:5-6; Ul. 4: 20; 7:26; 14:2; 26:18; Tit. 214; 1Petr. 2:9).  Dalam rangka panggilan, pilihan dan pengudusan (pengkhususan) inilah PL berbicara tentang umat Allah (am Yahwe) yang di dalam PB diterjemahkan ek-klesia, yaitu persekutuan orang-orang yang dipanggil keluar dari ikatan-ikatan lama kemudian dikhususkan untuk menjadi berkat bagi semua orang. Di sini tampak dengan jelas bahwa gereja merupakan persekutuan atau perkumpulan masyarakat iman yang menurut iman Kristiani adalah masyarakat (siapa saja yang terdiri dari orang-orang) yang telah menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan juruselamatnya. Secara teologis gereja dapat diartikan sebagai persekutuan yang lahir dari Allah, karena ia merupakan buah tangan pekerjaan Roh Kudus. Itulah sebabnya, kehadirannya di dunia ini mempunyai pengertian yang special, yaitu: sebagai “agen” atau “mediator” berkat Allah bagi dunia ini.

b.   Gereja adalah Orangnya
      Dilandasi pemahaman pada point a di atas, maka saya ingin mengutip apa yang dikemukakan oleh Dr. Theo Kobong, melalui tulisannya yang berjudul “Gereja Bukanlah Gedungnya, Gereja Adalah Orangnya” dalam buku “Kepemimpinan dan Pembinaan Warga Gereja. Ia secara jelas menguraikan bahwa gereja adalah orangnya.[2] Dari uraian terdahulu di atas kita sudah dapat memahami bahwa yang dimaksudkan pertama-tama  bukanlah gedungnya, melainkan gereja adalah orangnya. Kita juga sudah memahami bahwa tugas dasar yang diberikan Allah kepada kita adalah sama dengan tugas yang diberikan Allah kepada Abraham yaitu memeilihara kehidupan. Memelihara kehidupan seperti yang dimaksudkan Allah tidak mungkin dilakukan oleh gereja sebagai lembaga/institusi. Di dalam Alkitab, Allah tidak berbicara kepada lembaga/institusi, melainkan kepada manusia-manusia, walaupun Alkitab mempergunakan juga ilustrasi seperti bangunan (Ef. 2:21-22; 1 Petrus 2:5), tubuh (1 Kor. 12), kawanan domba (Yoh. 21:15-17; 1 Petr. 5:2). Namun jelas bahwa yang disapa melalui ilustrasi-ilustrasi (itu berarti ilustrasi di sini hanya diposisikan sebagai sarana komunikasi yang komunikatif) itu adalah manusia-manusia yang telah memberikan dirinya dirangkul oleh kasih Allah. Dengan demikian mau dikatakan bahwa masing-masing umat Allah disapa sebagai bagian dari satu bangunan, satu tubuh, satu kawanan domba, tetapi kepada masing-masing anggota telah diberikan karunia yang berbeda-beda. Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lain menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita (Roma 12:6). Setiap anggota mempunyai fungsinya masing-masing (1 Kor. 12). Di dalam 1 Kor. 12:21 dyb. Paulus mengatakan: mata tidak dapat berkata kepada tangan; aku tidak membutuhkan engkau. Dan kepala tidak dapat berkata kepada kaki, aku tidak membutuhkan engkau. Malahan justru anggota-anggota tubuh yang menurut pemandangan kita kurang terhormat, kita justru memberikan penghormatan khusus kepadanya. Demikian juga terhadap anggota-anggota tubuh kita yang tidak elok, kita berikan perhatian khusus kepadanya.
      Di tempat lain Paulus berkata bahwa kita adalah satu tubuh di dalam Kristus. Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lain menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita: jika karunia itu adalah untuk bernubuat, baiklah kita melakukannya sesuai dengan iman kita. Jika karunia untuk melayani, baiklah kita melayani, jika karunia untuk mengajar, baiklah kita mengajar, jika karunia untuk menasehati, baiklah kita menasehati. Karunia intelektual itu bermacam-macam, karunia seni mungkin lebih bervariasi lagi, demikian juga karunia keterampilan tidak kurang banyaknya. Singkatnya kehidupan ini mempunyai banyak segi yang sering kita tidak sadari, namun apabila kita yakin bahwa kehidupan ini adalah ciptaan pemberian Tuhan, maka kita harus pula sadari bahwa kehidupan ini adalah ciptaan dan pemberian Tuhan, maka sebaiknya kita sadar bahwa kehidupan seperti itulah yang harus kita pelihara dan kembangkan, masing-masing menurut talenta yang dipercayakan kepadanya.
      Dengan pemahaman di atas bahwa gereja/umat Allah dipanggil dan diberikan tugas memelihara kehidupan, maka jelas bahwa gereja hanya bisa memelihara kehidupan melalui anggota-anggotanya di setiap bidang kehidupan (artinya dalam multi kompetensi) sesuai dengan kehendak Allah. Dengan kesadaran demikian, maka gereja mau tidak mau mempunyai kewajiban untuk memperlengkapi anggota-anggotanya untuk memelihara kehidupan itu. Untuk itulah Yesus Kristus sendiri memberikan kepada gereja-Nya pejabat-pejabat/pelayan-pelayan khusus. Para pejabat dan pelayan tersebut adalah primer dan terutama untuk memperlengkapi warga gereja bagi suatu pekerjaan memelihara kehidupan yang mengacu kepada kerajaan Allah. Jadi yang diperlengkapi adalah orangnya dan bukan gedungnya atau organisasinya, atau kalau organisasinya dan gedungnya dibenahi, maka itu hanya untuk menunjang usaha mengfungsikan anggota-anggotanya secara efektif. Jadi sekali lagi, starting point, focusing point and finishing point adalah orangnya, bukan gedungnya. Di sinilah tampak secara jelas pentingnya PWG.

c.   Gereja Dalam Pemahaman Praktis
      Menurut Lawrence O. Richards, dalam bukunya A Theology of Christian Education, bahwa pemahaman mengenai hakikat, sifat dan tugas gereja yang kita anut, akan sangat mempengaruhi pola pikir kita sendiri terhadap tugas gereja dalam pendidikan atau pembinaan.[3] Dilandasi dengan pengertian ini, maka pemahaman yang jelas oleh umat, khususnya para “elite” gereja tentang gereja harus dirumuskan secara tepat dan disosialisasikan.   Menurut urgensinya, hal ini merupakan sesuatu yang tidak bisa lagi ditunda-tunda. Karena apabila tidak, akan terjadi penyalahgunaan dan atau pemanfaatan institusi gereja dengan label pelayanan demi mewujudkan ambisi pribadi, kerakusan dan kepentingan pribadi atau kelompok-kelompok tertentu. Dan kalau itu terjadi, akibatnya praktek dan perilaku sekuralisasi gereja terjadi. Gereja dapat menjadi arena perebutan kekuasaan, pengumpulan kekayaan, penerusan kerajaan, tempat perdagangan agama yang sangat populer, dll. Ada beberapa pemahaman praktis yang dapat dilekatkan pada gereja, seperti yang diuraikan berikut ini:
  • Gereja sebagai suatu organisasi
Organisasi gereja tidak diuraikan secara tegas di dalam Perjanjian Baru. Organisasi gereja disinggung hanya sedikit saja oleh Kristus dalam Matius 18, ketika Ia berbicara tentang pembuktian fakta mengenai suatu perselisihan melalui pemeriksaan bersama oleh jemaat. Ketika kekuasaan para rasul berlalu, tampaknya organisasi kolektif yang menggantikannya. Sebagai contoh, dalam Kisah Para Rasul 8 Petrus menentang Simon si tukang sihir berdasarkan kekuasaan sepihak. Beberapa tahun kemudian, Rasul Paulus menulis kepada jemaat di Korintus bahwa mereka mempunyai tanggung jawab bersama untuk menghakimi orang-orang jahat yang ada di tengah-tengah mereka (1 Kor. 5:13). Di dalam gereja mula-mula organisasi merupakan upaya menanggapi kebutuhan-kebutuhan dan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh gereja. Sebagai contoh yang paling jelas tentang pemilihan diaken dalam Kisah Para Rasul 6. Tetapi dalam perkembangannya lebih lanjut, tidak bisa dihindari bahwa gereja dalam perjalanan tugas dan tanggung jawab kesaksiannya menghadapi multi tugas   harus dikerjakannya, termasuk di dalamnya PWG. Hal inilah yang mendorong gereja untuk harus menjadi suatu organisasi yang mampu menerapkan elemen-elemen organisasi dan kepemimpinan secara benar dan relevan.
  • Gereja sebagai suatu organisme
Untuk memahami gereja sebagai suatu organisme, ada baiknya kita mengutip apa yang dikemukakan oleh William W. Menzies dalam bukunya “Doktrin Alkitab”. Ia berkata bahwa “gereja lebih dari sekedar organisasi; gereja adalah organisme yang hidup. Kepala Gereja adalah Yesus Kristus (Ef.1:22,23), yang memelihara gereja, serta memberikan nhidup rohani kepadanya. Akan tetapi, organisme yang hidup harus mempunyai struktur. Dalam dunia ini tidak ada yang lebih hebat organisasinya daripada sel hidup yang paling sederhana. Demikian pula, gereja adalah susunan bagian-bagian yang rapih dan tersusun, susunan yang ditemukan  bila menyelidiki pola gereja Rasuli. Struktur yang dinyatakan dalam Perjanjian Baru sangat sederhana, namun prinsipnya ialah bahwa hanya organisasi yang penting bagi kelangsungan kehidupan gereja harus dipakai.[4] Apa yang dikemukakan oleh Menzies di atas dapat kita mengambil suatu kesimpulan bahwa gereja memiliki dimensi illahi dan insani. Illahi karena lahir dari karya Roh Kudus dan insani karena membutuhkan penataan dari manusia dalam suatu realitasnya sebagai organisasi.

d.   Kedudukan dan Tugas Ganda Gereja
  • Kedudukan Gereja
Dalam rangka memahami kedudukan gereja, menarik apabila kita memperhatikan apa yang Homrighausen katakan tentang gereja. Ia mengatakan, kedudukan gereja  harus dilihat dari tiga aspek, yaitu: gereja adalah pemberian Allah, gereja adalah suatu organisasi di tengah-tengah masyarakat dan gereja merupakan suatu badan yang melakukan fungsinya yang istimewa di antara umat manusia.[5] Dari tiga aspek ini, khususnya aspek yang ketiga sangat terkait erat dengan tugas PWG. Disebutkan sebagai tugas istimewa oleh karena tugas PWG dimandatkan Allah bukan kepada lembaga-lembaga non-gereja, melainkan memang telah menjadi salah satu tugas khusus gereja. Gerejalah  yang harus bertanggung jawab terhadap segala jenis pendidikan/pembinaan iman warga gereja. Apabila gereja melalaikan tugas tersebut, maka ia telah melalaikan salah satu hakikat dirinya.

  • Tugas Ganda Gereja Dalam PWG
Tugas gereja harus dipahami, dibangun dan dikembangkan dalam suatu dimensi yang bersifat komprehensif.   Tugas Gereja bukan  hanya membimbing umat untuk beriman dan memiliki hubungan dengan Tuhan, melalui kegiatan-kegiatan pembinaan, seperti dalam bentuk khotbah-khotbah pada acara-acara kebaktian, pemasyuran Injil, pendalaman-pendalaman Alkitab, dan lain-lain, tetapi harus pula memperlengkapi dan mendorong umat berbuat sesuatu sesuai bidang kemampuannya, agar menjadi berkat dalam suatu kehidupan konkret terhadap sesamanya. Di sinilah tampak secara jelas pentingnya suatu proses pendidikan atau pembinaan yang bersifat holistic (artinya pendidikan yang menyentuh seluruh aspek hidup manusia, baik rohani maupun pengetahuan dan keterampilan umum) dalam suatu gereja. Dengan demikian tugas pencerdasan warga gereja adalah juga salah satu tugas pokok dari gereja itu sendiri. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Daniel Aleshire, ia mengatakan, salah satu (artinya  masih ada yang lain) maksud dari gereja adalah “the church must educate its members”.[6] Salah satu maksudnya adalah agar warga gereja menjadi warga yang terdidik sehingga memahami secara benar isi imannya (content of the faith), memahami secara benar apa yang benar dan salah, memahami dan mampu mengkomunikasikan imannya ke dalam kehidupan konkrit, memahami dan mampu melakukan sesuatu yang memberi makna bagi hidupnya dan hidup orang lain.
Penekanan utama dalam proses belajar yang dijalankan bagi warga gereja, hendaknya tidak merupakan suatu proses untuk memiliki sesuatu, melainkan lebih diarahkan sebagai suatu proses untuk menjadi sesuatu. Hal ini tidak dimaksudkan bahwa sertifikat yang kita dapatkan melalui suatu proses pendidikan tidak berarti apa-apa, sehingga sebaiknya dibuang saja.  Bukan itu yang dimaksud ! Sekali lagi, bukan. Tetapi adalah benar bahwa apalah artinya kita memiliki sejumlah sertifikat  yang kita dapatkan dari berbagai lembaga pendidikan, baik yang sifatnya formal maupun yang sifatnya non-formal, kalau ternyata hidup kita hidupi ini ternyata tidak berguna secara maksimal, baik untuk diri kita sendiri maupun terhadap sesama. Karena itu, hendak diberi penekanan sekali lagi bahwa yang jauh lebih terpenting adalah ketika hidup ini bisa menjadi sesuatu artinya bahwa melalui kehidupan kita ada suatu manfaat yang dirasakan, baik oleh diri kita maupun oleh sesama yang ada di sekitar kita.

e.   Gereja Sebagai Pengembang Strategi Pembinaan

Gereja yang dilukiskan sebagai tubuh Kristus merupakan suatu organisme Illahi yang terus menerus  berkembang. Suatu organisme tidak pernah berhenti dalam perkembangannya, karena perkembangan adalah tanda-tanda adanya suatu kehidupan dalam organisme tersebut. Organisme yang bertumbuh itu perlu diatur dan ditata pertumbuhannya (perkembangannya) agar ia bertumbuh atau berkembang secara sehat sesuai dengan yang diharapkan. Gereja, selain sebagai organisme, ia juga merupakan suatu organisasi yang dalam melaksanakan tugasnya harus tertata rapih secara terstruktur sehingga tercapai pencapaian hasil yang maksimal.
Setiap organisasi apapun; organisasi pemerintahan, organisasi politik, organisasi kemsyarakatan (termasuk di dalamnya organisasi gereja), organisasi bisnis, dll. di dunia ini pasti bekerja dengan menggunakan pola strategi. Karena keberhasilan suatu organisasi, sangat ditentukan pula oleh jenis strategi yang digunakan. Berkenaan dengan tugas gereja sebagai pengembang strategi pembinaan, maka ada beberapa hal terkait yang perlu dipaparkan sebagai berikut: 

1.   Menetapkan Profil Warga Gereja Yang Diharapkan     
Ketika kita hendak melakukan suatu pembinaan terhadap warga gereja; pertama-tama kita harus memunculkan pertanyaan tentang profil warga jemaat yang bagaimana, yang diharapkan ? Karena dengan adanya pertanyaan seperti ini, maka akan menjadi dasar dan sekaligus pemberi arah dalam keseluruhan pengembangan strategi pembinaan yang akan dilakukan. Contoh, profil warga jemaat yang diharapkan oleh Gereja Bethel Indonesia “adalah mempersiapkan warga jemaat yang seperti Kristus” (ini hanya sebagai salah satu contoh saja).
Setelah profil hasil pembinaan ditetapkan, maka pertanyaan berikutnya adalah kebutuhannya apa ? Pada saat kita berbicara tentang kebutuhan, maka ada beberapa factor yang harus menjadi perhatian khusus, yaitu: analisis kebutuhan, model-model analisis kebutuhan dan strategi-strategi analisis kebutuhan. Untuk ketiga aspek ini, saya akan mengutip apa yang dikemukakan oleh Pdt. Japarlin Marbun,  dalam tulisannya yang berjudul “Gembala Jemaat Sebagai Pengembang Program Gereja” dalam buku  “Gnosis“; Merajut Pemahaman Transformasi Gereja dan Pergumulan Teologi Kekinian”, sebuah jurnal teologi yang diterbitkan oleh BPD GBI DKI Jakarta. Dalam tulisannya, beliau menekankan tiga aspek dengan mendasarkan paparannya, seperti pada apa yang telah dikemukakan oleh Kaufman, Briggs., Lesle., J.Walter., W.Wagner dan Alisson Rosset.  Ia menjelaskan tiga aspek sebagai berikut.[7]

·         Analisis Kebutuhan
Dari sekian banyak kebutuhan yang mungkin dirasakan oleh seseorang, maka tidak semuanya kebutuhan itu dapat dipenuhi pada suatu saat. Oleh karena itu diperlukan adanya usaha untuk mengidentifikasi serta menentukan skala prioritas mana yang lebih dahulu dari kebutuhan-kebutuhan tersebut yang didahulukan. Kesenjangan yang dibutuhkan pemecahannya itulah yang disebut masalah atau kekurangan dari yang seharusnya ada dengan yang ada pada saat tertentu. Dengan demikian, maka kesenjangan yang dibutuhkan pemecahannya disebut masalah. Salah satu contoh masalah, kalau kita mengacu pada para profil warga jemaat yang diharapkan dari GBI, yaitu “mempersiapkan warga jemaat yang seperti Kristus”, maka masalahnya adalah seperti apa performance warga jemaat yang seperti Kristus ? Apa indikasinya ?.
Menurut Kaufman, masalah adalah tidak lain dari “selected gap” atau kesenjangan yang diprioritaskan pemecahannya berdasarkan kepentingannya. Usaha untuk mengidetifikasi, mengukur kebutuhan dan menentukan prioritas pemecahannya dikenal dengan istilah “need assessment” atau “discrepancy analysis” atau analisis kebutuhan. Menurut Knirk & Pinola, analisis kebutuhan adalah proses yang sistematis untuk membandingkan apa yang telah ada dengan apa yang seharusnya. Sementara Alisson Rosset, menjelaskan bahwa analisis kebutuhan adalah suatu kegiatan atau proses di mana seseorang melakukan identifikasi atau mencari informasi  tentang kebutuhan-kebutuhan dan menentukan cara yang paling tepat untuk menyelesaikannya. Dari beberapa pendapat di atas jelaslah bahwa: analisis kebutuhan adalah proses menentukan jarak atau kesenjangan antara hasil yang dicapai sekarang dengan hasil yang sesungguhnya diinginkan/dikehendaki serta menetapkan kesenjangan tersebut dalam urutan skala prioritas. Jadi hasil akhir dari analisis kebutuhan adalah ditemukannya sejumlah kesenjangan antara kondisi yang ada dengan kondisi yang seharusnya ada serta skala prioritas pemecahan berdasarkan tingkat urgensinya.

·         Model-model Analisis Kebutuhan
Menurut Kaufman, model-model analisis kebutuhan dapat diklasifikasi sebagai berikut: 
a.   Model Alpha
Analisis kebutuhan model alpha mendasarkan analisisnya dari bawah, yaitu penekanannya pada identifikasi masalah berdasarkan pada tataran kebutuhan. Model ini sangat cocok untuk perumusan dan pelaksanaan kebijakan.
b.   Model Beta
Analisis kebutuhan model beta memberikan penekanan pada fungsi kedua yaitu penentuan syarat pemecahan dan pengidentifikasian alternative pemecahan masalah. Jadi model kedua ini lebih banyak berhubungan dengan organisasi yang berinisiatif  mengadakan analisis kebutuhan.
c.   Model Gamma
Analisis kebutuhan model gamma dilaksanakan dengan meminta kesediaan orang-orang untuk menyusun urutan/menyeleksi tujuan umum dan tujuan khusus yang ada agar ditemukan suatu daftar tujuan yang disusun berurutan. Kemudian dipilih strategi-strategi pemecahan di antara strategi-strategi yang telah ditentukan.
d.   Model Delta
Analisis kebutuhan model delta dipergunakan untuk menentukan/ memutuskan apa yang akan dilakukan dan bagaimana cara melakukannya. Jadi pada tahap ini metode diimplementasikan dengan peralatan yang telah diseleksi, dengan kata lain tahap ini adalah tahap pelaksanaan di lapangan dan manajemen penyelesaian tugas.
e.   Model Epsilon
Model ini berhubungan dengan penentuan sejauhmana hasil yang diinginkan telah dicapai. Dalam hal ini, suatu yang telah direncanakan, dikembangkan dan digunakan dalam strategi operasional dinilai apakah dapat bekerja atau tidak. Dalam tahap ini efektifitas dari metode dan peralatan dapat ditentukan sehingga tahap ini sering juga disebut sebagai evaluasi sumatif dari analisis kebutuhan.
f.    Model Zeta
Model zeta adalah model yang dapat dipergunakan untuk mengadakan pembaharuan atau perubahan system yang bersifat konstan dan berkesinambungan sehingga dimungkinkan adanya revisi apabila diperlukan.

·         Strategi-strategi Analisis Kebutuhan
Strategis analisis kebutuhan dapat dihubungkan dengan pencarian pemecahan dalam berbagai bidang yang dianggap memerlukan pemecahan terhadap sesuatu kebutuhan. Dan jika analisis kebutuhan dihubungkan dengan kegiatan pendidikan dan latihan, maka menurut Kaufman, dapat diidentifikasi tiga strategi analisis kebutuhan, yaitu:
    1. Strategi Klasik
Strategi klasik dimulai dari penentuan tujuan yang sifatnya umum (generic), kemudian dilanjutkan dengan pengembangan dan selanjutnya diadakan evaluasi program. Strategi ini dilakukan oleh pengembang program pendidikan dan latihan.
    1. Strategi Induktif
Strategi induktif adalah proses induksi yang bertolak dari pendapat patner dan data empiric dari lapangan kemudian berdasarkan data tersebut dirumuskan tujuan umum yang diinginkan. Selanjutnya diukur jarak antara tujuan umum dengan data yang didapat dari lapangan.
    1. Strategi Deduktif
Strategi deduktif bertolak dari perumusan tujuan umum yang diinginkan dilanjutkan dengan pengumpulan data dari lapangan. Selanjutnya diukur perbedaan antara tujuan umum dengan data yang ada di lapangan. Dengan demikian analisis kebutuhan yang berdasarkan strategi deduktif dapat dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
·         Pertama, dilakukan identifikasi tujuan-tujuan yang mungkin dapat dicapai. Artinya dalam tahap ini akan didaftar semua tujuan yang mungkin dicapai tanpa mempertimbangkan urgensinya. Tujuan-tujuan tersebut dirumuskan secara operasional disertai dengan criteria performance.
·         Kedua, disusun tujuan-tujuan berdasarkan skala prioritas. Tujuan dari kegiatan ini adalah menyusun/mengurutkan tujuan-tujuan yang telah diidentifikasikan berdasarkan kepentingannya, sehingga akan kelihatan urutan dari tujuan yang terpenting sampai kepada tujuan yang kurang penting.
·         Ketiga, mengidentifikasi kesenjangan antara performance yang ada dengan performance yang diharapkan. Kegiatan pertama dalam tahap ini ialah mendeskripkan tingkat performance dari objek system yang ada, selanjutnya dibandingkan dengan performance sebagaimana disyaratkan dalam tujuan.
Untuk lebih jelasnya, Kaufman mengidentifikasi sembilan langkah yang perlu ditempuh dalam mengukur kebutuhan sebagai berikut:
·         Pertama, menyusun rencana
·         Kedua, mengidentifikasi gejala masalah berdasarkan permintaan dari lembaga pendidikan dan latihan untuk mengadakan pengukuran kebutuhan.
·         Ketiga, menentukan ruang lingkup
·         Keempat, mengidentifikasi peralatan dan prosedur penilaian kebutuhan, selanjutnya memilih yang terbaik bekerja sama dengan patner dalam melakukan perencanaan.
·         Kelima, merumuskan keadaan yang ada sekarang dalam bentuk perumusan performance yang spesifik dan dapat diukur.
·         Keenam, Merumuskan kondisi yang diharapkan dalam rumusan yang spesifik dan dapat diukur.
·         Ketujuh, mempertemukan perbedaan pendapat yang ada antara patner dengan peneliti dalam mengidentifikasi tujuan sehingga diperoleh kesepakatan antara peserta pelatihan, pengguna lulusan dan pengembang program pelatihan.
·         Kedelapan, mengurutkan kebutuhan-kebutuhan tersebut menurut skala prioritas dan menurut urgensinya.
·         Kesembilan, merumuskan penilaian kebutuhan serupa agar tetap “up to date”.
Kesembilan langkah ini masih dapat disesuaikan dengan keperluan, ataupun tergantung pada siapa yang melakukan perencanaan, di mana perencanaan itu dilaksanakan dan pertimbangan-pertimbangan lainnya.

2.   Menetapkan PWG Sebagai Tugas Primer Gereja

PWG merupakan suatu usaha gereja secara sengaja untuk membimbing setiap warga gereja; khususnya yang sudah dewasa agar  bertumbuh ke arah kedewasaan penuh di dalam Kristus. Dengan pertolongan dan bimbingan Roh Kudus serta dengan tuntunan firman-Nya, warga jemaat dimampukan secara maksimal dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai mediator berkat bagi dunia ini. Hal ini dimungkinkan, hanya apabila PWG dilaksanakan secara baik dan bersinambung oleh gereja terhadap warganya.
Dilandasi dengan pemahaman di atas, maka dapat disimpulkan bahwa PWG adalah salah satu tugas sentral dari gereja. Dengan demikian, apabila gereja melalaikan tugas pelaksanaan PWG, maka ia dapat dikatakan telah melalaikan salah satu hakikat dirinya. Di sinilah tampak semakin jelas bahwa PWG haruslah menjadi tugas primer gereja dan bukan merupakan tugas sekunder.
Sayang sekali bahwa ternyata masih banyak diantara gereja Tuhan di Indonesia belum memposisikan PWG sebagai bagian dari tugas primer gereja. Bukan bermasud bahwa tidak penting; bahwa gereja dalam realitas kehidupan dan pelayanannya masih lebih cenderung “concern” terhadap pelaksanaan ibadah-ibadah raya dalam bentuk KKR di gedung-gedung besar, di lapangan-lapangan terbuka, dll.,jika dibandingkan dengan pembinaan-pembinaan warga dalam bentuk kelompok yang lebih kecil. Namun yang menjadi masalah adalah bahwa kegiatan-kegiatan seperti KKR cenderung lebih bersifat umum, dasar dan tidak focus. Untuk sebagai starting point bagi pemenangan jiwa-jiwa baru bagi Kristus, pendekatan ini bisa sangat efektif, tetapi untuk pembinaan warga, agar menjadi bertumbuh khususnya dalam kualitas iman, maka pendekatan yang paling memadai adalah PWG dalam bentuk kelompok-kelompok yang lebih kecil.  Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum yang terstruktur dan disesuaikan dengan jenis serta tingkat kebutuhan warga (peserta didik).
     
      3.   Melakukan “Training for the Trainers”.

Di baris terdepan setiap pelayanan Kristen selalu dibutuhkan orang-orang yang benar-benar terlatih, orang-orang yang memiliki komitmen yang jelas terhadap Pribadi Kristus, orang-orang yang tahu bagaimana cara mengembangkan pekerjaan Kristus di atas muka bumi ini; khususnya dalam suatu situasi khusus seperti pada masa kini yang kita kenal sebagai abad kejayaan teknologi, yang sarat dengan berbagai tantangannya.
Dilandasi dengan pemahaman di atas dan untuk mewujudkan kerinduan kita terhadap pentingnya dilaksanakan “training for the trainers”, maka ada baiknya kita munculkan tiga pertanyaan seperti : mengapa harus memilih dan melatih orang-orang, bagaimana memilih dan melatih orang-orang, siapa yang harus dipilih dan dilatih ?
·         Mengapa harus memilih dan melatih orang ?
Pertanyaan ini dapat saja dijawab dengan sebanyak mungkin jawaban, akan tetapi saya hanya memberikan dua alasan sebagai jawaban terhadap pertanyaan di atas, yakni: Pertama, kita memerlukan orang-orang yang mampu. Seringkali di dalam suatu gereja, ketika menyusun dan menetapkan para tenaga pelayan yang nantinya ditugasi untuk melakukan serangkaian tugas pelayanan seperti penjangkauan jiwa-jiwa yang belum terselamatkan untuk dibawa kepada Kristus; tampaknya belum melalui suatu mekanisme yang normal, artinya masih terkesan “asal pilih”, “asal ada”, dsb. Akibatnya, hasil pelayanannya sangat buruk bahkan menimbulkan frustrasi baru, baik bagi gereja (tenaga penjangkau) maupun juga bagi orang-orang yang mau dijangkau tersebut.  Bila itu memang kenyataannya, maka tampaklah di sini pentingnya suatu proses memilih seseorang dan menetapkannya untuk suatu tugas pelayanan di dalam suatu gereja berdasarkan prinsip “orang yang tepat untuk suatu pekerjaan yang tepat”. Artinya bahwa diperlukan suatu kejelihan memilih orang, di samping  berdasarkan kemampuannya tetapi juga perlu diikuti dengan pelatihan-pelatihan terstruktur (sesuai dengan jenis kebutuhan dan tugas yang akan dimandatkan oleh gereja kepadanya) dalam rangka mempertajam ketrampilannya guna melaksanakan tugas pelayanan yang dipercayakan kepadanya. Kedua, tuntutan beban tugas pelayanan dan kesinambungannya. Tanpa suatu proses pemilihan dan pelatihan yang berkesinambungan di dalam Tubuh Kristus, maka saya memprediksi bahwa   para pemimpin Kristen yang jumlahnya sangat sedikit akan kelebihan beban pekerjaan, sehingga pada akhirnya mereka akan kehabisan tenaga. Salah satu contoh yang menarik dalam Alkitab, untuk contoh kasus adalah Musa. Ia sedang berada pada titik kelelahan jasmani, emosi dan rohani pada saat ia berusaha mengurus sekitar dua juta orang atau lebih yang keluar dari Mesir. Tetapi kemudian, Yitro, ayah mertuanya yang bijaksana, memperhatikan apa yang sedang terjadi dan mengingatkan Musa bahwa ia sedang menyiksa dirinya sendiri jika ia tidak mulai mengadakan proses pemilihan dan pendelegasian tugas (bnd. Kel. 18:13-18). Dengan demikian dapat juga dipahami bahwa proses pemilihan dan pelatihan orang-orang dalam suatu organisasi (termasuk organisasi gereja), terkait erat dengan pendelegasian tugas, agar tugas organisasi ke depan berjalan lebih signifikan. Contoh, ketika Musa meninggal dunia, bangsa Israel tidak menghadapi masalah kepemimpinan oleh karena Musa telah melatih dengan sungguh-sungguh orang yang akan menggantikannya, yaitu, Yosua (bnd. Yosua 11:15).
·         Bagaimana memilih dan melatih orang?
Mengacu pada pertanyaan bagaimana memilih dan melatih seseorang, bukanlah sesuatu yang gampang dijawab. Karena itu, ada empat hal penting yang perlu diperhatikan. Pertama, lakukan pengamatan secara dekat dan cermat. Kedua, adakan pra-pelatihan kepada orang-orang yang dipilih (bnd. Markus 3:14; suatu strategi yang digunakan oleh Yesus Kristus dan itu sangat efektif). Ketiga, sikap doa (bnd. Lukas 6:12-16). Dalam proses pemilihan, pengamatan terhadap orang-orang dan latihan yang tepat sangatlah penting. Walaupun demikian, hal-hal tersebut tidak dapat menggantikan fungsi doa di mana mencari Allah untuk memilih orang-orang yang telah ditetapkan-Nya.
Meskipun Yesus telah mengenal murid-murid yang telah mengikutiNya dan yang berada dekat dengan-Nya selama kurang lebih satu tahun, Ia tidak menggantungkan diri pada kemampuan-Nya sendiri dalam menentukan pilihan. Ia meluangkan waktu semalam-malaman untuk berdoa kepada Allah, sehubungan dengan pemilihan yang akan dilakukan-Nya. Yesus menyadari betapa pentingnya proses pemilihan ini. Di atas bahu merekalah terletak seluruh masa depan gereja. Oleh karena itu, Yesus tidak sembarangan dalam memilih, melainkan dengan penuh kesungguhan dan doa.
Dan terbukti bahwa Allah sungguh-sungguh menjawab doa-Nya. Alkitab mencatat keyakinan Yesus yang dalam, yaitu bahwa murid-murid-Nya adalah orang-orang yang telah diberikan oleh Allah kepada-Nya. Yesus sangat menyadari bahwa orang-orang ini adalah hamba-hamba Allah yang dipercayakan kepada-Nya (bnd. Yohanes 17:6-9). Keempat, sesuai dengan karunia. Alkitab menyebutkan dengan jelas bahwa bagi setiap anak Allah, Roh Kudus telah memberikan satu atau beberapa karunia rohani (bnd. 1 Kor. 12:7). Karunia-karunia ini diberikan dengan tujuan untuk membangun segenap Tubuh Kristus. Jika setiap orang menggunakan karunianya masing-masing serta melatih orang-orang lain sesuai dengan karunianya itu, maka Tubuh Kristus akan dibangun dan orang-orang percaya diperlengkapi untuk melayani (bnd. Efesus 4:11-12).

·         Siapa yang dipilih dan dilatih ?
Yitro sangat bijaksana ketika ia menasihatkan Musa tentang siapa yang harus dipilih untuk menolong Musa dalam kepemimpinannya. Yitro menyadari bahwa jika ia memilih orang-orang yang keliru, maka hasilnya akan lebih buruk daripada sama sekali tidak ada orang yang membantu (bnd. Kel. 18:21). Ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian kita dalam rangka menetapkan siapa yang akan dipilih dan dilatih, yakni: Pertama, berkaca kepada teladan Musa (syaratnya: cakap, jujur, takut akan Allah, tidak dapat disuap=Kel. 18:21), Paulus (2 Tim. 2:2) dan Para Rasul (Kisah Rasul 6:2-3). Kedua, setia. Kesetiaan adalah suatu sifat yang jarang ditemukan dan yang semakin sukar untuk didapat pada abad eksistensial sekarang ini, karena banyak orang tidak memiliki rasa tanggung jawab (bnd. Amsal 20:6). Ketiga, bersedia. Banyak orang yang mempunyai potensi besar untuk memimpin dan memuridkan namun mengurangi potensi yang ada di dalam diri mereka oleh karena mereka tidak turut ambil bagian dalam mewujudkan kepemimpinan serta pemuridan. Penyebabnya adalah karena tidak adanya kesediaan. Mereka gagal untuk hidup sesuai dengan prioritas-prioritasnya dan mendapati bahwa “benteng keterdesakan” memaksa mereka semakin jauh dari sasaran-sasaran serta nilai-nilai yang kekal. Keempat, senang diajar. Sifat penting lainnya yang perlu dicari dalam proses pemilihan adalah sifat senang diajar. Jika seseorang tidak terbuka dan tidak rela untuk belajar maka ia tidak akan pernah dapat melayani atau memimpin secara harmonis dalam Tubuh Kristus. Seorang yang tidak senang diajar lama kelamaan akan menjadi orang yang tidak bergairah  dan statis-ia hanya berada dalam pola-pola yang kaku, yang menghapuskan keefektifannya.
Salah satu alasan mengapa Allah tidak bekerja melalui orang-orang Farisi adalah karena mereka mempunyai sikap yang tidak senang diajar. Mereka mengira bahwa mereka sudah tahu tentang segala hal. Walaupun mereka adalah orang-orang yang super setia dan bersedia dalam mentaati hukum Taurat, namun mereka memiliki sikap tidak senang diajar terhadap Perjanjian Kristus yang Baru, dan oleh karena itu, maka Yesus harus melewatkan mereka pada saat Ia memilih orang-orang.
Tidak peduli berapa banyak pengetahuan seseorang, ia harus menyadari bahwa masih ada begitu banyak hal yang harus dipelajari dari Allah kita yang tidak terbatas itu. Jika kita senantiasa terbuka untuk diajar tentang hal-hal yang baru dari Dia, kita akan mendapati bahwa kita memiliki kapasitas yang semakin meningkat untuk mengatasi berbagai situasi dalam kehidupan. Kelima, lahir baru (hal ini sangat penting dan menentukan). Bertumbuh di dalam Kristus serta memiliki keintiman (hubungan special) dengan-Nya. Mampu secara konsisten memperlihatkan buah-buah Roh Kudus di dalam keseluruhan penampilan hidup kesehariannya, sebagaimana yang disebutkan dalam Galatia 5:22-23.

      4.   Menunjuk dan Menetapkan Tim (Panitia) Khusus PWG
            Alan Brache, berkata “hanya sedikit manajer yang memiliki pendekatan sistematis
untuk memaksimalkan produktivitas tenaga kerja”. Statement ini menunjukkan betapa pentingnya  tenaga pelayan dan atau warga jemaat yang terlibat dalam suatu proses tugas pelayanan, ditingkatkan kemampuan dan keterampilannya. Namun dalam usaha tersebut perlu ditempuh langkah-langkah yang sistematis agar pencapaian hasilnya maksimal. Proses langkah awal yang perlu dikerjakan adalah penunjukan dan penetapan team (panitia) khusus pelaksana program PWG. Hal-hal yang perlu menjadi perhatian utama dari proses awal ini adalah orang-orang yang direkrut haruslah terdiri dari orang-orang yang memang memiliki kemampaun dan keahlian di bidangnya sesuai dengan kebutuhan program yang akan dikerjakan.
Team khusus inilah yang akan memikirkan dan mempersiapkan seluruh kebutuhan PWG (khususnya juga kebutuhan financial) dan teknis pelaksanaannya dalam suatu gereja lokal ataupun pada tingkat sinodal. Seperti yang telah disinggung di atas, maka orang-orangnya adalah yang memang memiliki kemampuan dan keterampilan yang lebih.

5.   Menyusun Kurikulum Berbasis Kebutuhan
Disain kurikulum harus didasarkan pada kebutuhan dan profil warga jemaat yang diharapkan setelah mengikuti PWG. Karena itu yang harus dikerjakan terlebih dahulu di sini adalah menetapkan indicator profil warga jemaat yang diharapkan, kemudian identifikasi kebutuhan serta metodologi apa saja yang diperlukan dan dapat digunakan dalam rangka pencapaian profil tersebut tadi. Langkah-langkah praktisnya adalah diperlukan data dan pengenalan lapangan layanan. Kalau hal itu sudah dikerjakan, maka kurikulum sudah dapat disusun.

6.   Sosialisasi Program
      Sebelum program disosialisasikan, terlebih dahulu harus mendapat persetujuan formal dari pimpinan (gembala sidang), agar proses sosialisasinya tersambut oleh warga jemaat. Mekanisme sosialisasinya  adalah : melalui pengumuman resmi di gereja (sebaiknya oleh pimpinan/sedapat mungkin gembala siding), dimuat di dalam warta jemaat, dan atau dapat juga dimuat di majalah-majalah gereja.

7.   Penyediaan Sarana Pendukung
      Yang dimaksud dengan sarana pendukung di sini adalah tempat (fasilitas) pelaksanaan PWG yang berupa gedung, ruang belajar dan seluruh perlengkapan belajarnya. Di samping itu, yang tidak kalah pentingnya adalah tersedianya buku-buku sumber.



[1] French L. Arrington, Christian Doctrine; A Pentacostal Perspective, Volume three, (Tennessee: Pathway Press), 165

[2] Sularso Sopater, ed., Seri Membangun Bangsa; Kepemimpinan dan Pembinaan Warga Gereja (Jakarta: Sinar Harapan, 1998), 71-73
[3] Lawrence O. Richards, A Theology of Christian Education (Grands Rapid: Zondervan Publishing House, 1975), 120.
[4] William W. Menzies dan Stanley M. Horton, Doktrin Alkitab (Malang: Gandum Mas, 1998), 177.
[5] E.G. Homrighausen, Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 53.

[6] Bruce P. Powers, ed., Christian Education Handbook; Resources for Church Leaders (Nashville: Broadman Press, 1981), 32.
[7] M. Ferry H. Kakiay, ed., Gnosis; Merajut Pemahaman Transformasi Gereja dan Pergumulan Teologi Kekinian (Jakarta: BPD GBI DKI, 2003). Japarlin Marbun, dalam judul tulisannya: Gembala Jemaat Sebagai Pengembang Jemaat, hal. 90-95.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar