Konteks Perjanian Lama
Kata
“konteks’ berasal dari bahasa latim con yang
berarti “bersama-sama menjadi satu” dan textus
yang berarti “tersusun/terjalin”. Secara harafiah berarti “yang
terjalin/tersusun bersama-sama menjadi satu kesatuan”. Dalam arti yang lebih
luas sebagaimana dipahami dalam ilmu penafsiran Alkitab, konteks juga berarti
situasi kemanusiaan dan kesejarahan yang empiris diluar teks yang turut melatar belakangi terbentuknya suatu teks serta ikut memperngaruhi maksud dari teks trsebut.
1.
Masyarakat dan
umat Israel
Konteks PL yang paling utama ialah kehidupan bangsa
Israel baik sebagai suatu masyarakat maupun sebagai suatu umat. Sebagai suatau
masyarakat, Kehidupan bangsa Israel tidak banyak berbeda dari kehidupan
masyarakat-masyarakat lain disekitar maupun yang berada diseluruh Asia barat
daya kuno. Memang tentu saja ada hal-hal yang khusus dalam
masyarakat-masyarakat lai. Adat istiadat, mata pencaharian, bentuk dan susunan
kemasyarakatan , pranata-pranata kemasyarakatan, system pendidikan, lembaga
peradilan, system politik dan sebagainya, mempunyai kesamaan dengan
masyarakat-masyarakat disekitarnya.
Masyarakat Israel tidak terlepas dari
masalah-masalah social yang dihadapi oleh masyarakat umum saat itu, seperti
masalah perbudakan, perbedaan social antara yang kaya dan yang miskin,
perbedaan gaya hidup antara masyarakat kota dan masyarakat pedesaan,
masalah-masalah perlakuan pada orang asing, masalah-masalah dilapangan hukum
dan keadilan, kecenderngan untuk mengabaikan hukum resmi (dalam hal ini Torah) dalam masyarakat,
konflik-konflik social, masalah dekadensi moral dan sebagainya. Hal tersebut
dapat diketahui dari sentilan-sentilan yang dikemukakan oleh para nabi atau
para penulis kitab-kitab PL.
Dipihak lain kehidupan Israel sebagai umat Allah jelas
berbeda dari umat-umat beragama lain yang berada disekitarnya. Ini dikarenakan
atas kepercayaan Bangsa Israel yang monoteistis ketimbang dengan bangsa
disekitarnya yang menyembah kepada banyak dewa-dewi atau yang bersifat
politestis yang khusus. Kepercayaan kepada
Yahweh ini jelas menghendaki suatu perilaku etis yang khusus pula. Dan hal ini
dapat kita temukan dalam kumpulan-kumpulan kitab taurat didalam lima kita kitab
Musa (Pentateukh).
Namun walaupun demikian, kita juga mendengar
kritikan yang tajam dari para nabi Israel bahwa Israel adalah umat yang keras
kepala, tegar tengkuk dan berkepala batu (Yes 48:4; Yer 17:23; 19:15; Yeh 3:7),
dimana mereka berulang kali murtad terhadap Tuhan dan mereka kembali berbalik
menyembah dewa-dewa lain atau disebut sebagai penyembah berhala orang kafir. Mungkin
saat ini ada penelitian yang negative yang sama terhadap umat Israel dan turut
menghakimi mereka. Namun timbul pertanyaan, mengapa suatu umat yang dipilih
oleh Allah sendiri untuk menjadi umat kesayanganNya bisa berperilaku seperti
ini? Dapat dimengerti sikap yang oleh para nabi disebut sebagai “sikap keras
kepala” bila kita juga memahami dengan
baik kehidupan sehari-hari Israel sebagai suatu masyarakat. Sikap seperti itu
terbentuk akibat lemahnya system pendidikan iman Israel, tantang dan kesukaran
hidup yang dialami sehari-hari oleh setiap individu Israel dan kenyataan bahwa
kepercayaan kepada Yahweh kurang dihayati dengan sungguh oleh kebanyakan orang
Israel.
-
Pdt. Dr.
Marthinus Theodorus Mawenr, Perjanjial
Lama & Teologi Kontekstual. Jakarta: BPK Gunung Mulia 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar