Jumat, 12 Juli 2013

Kontekstual Perjanjian lama

Konteks Perjanian Lama
Kata “konteks’ berasal dari bahasa latim con yang berarti “bersama-sama menjadi satu” dan textus yang berarti “tersusun/terjalin”. Secara harafiah berarti “yang terjalin/tersusun bersama-sama menjadi satu kesatuan”. Dalam arti yang lebih luas sebagaimana dipahami dalam ilmu penafsiran Alkitab, konteks juga berarti situasi kemanusiaan dan kesejarahan yang empiris diluar teks  yang turut melatar belakangi  terbentuknya suatu teks serta ikut  memperngaruhi maksud dari teks trsebut.
1.   Masyarakat dan umat Israel
Konteks PL yang paling utama ialah kehidupan bangsa Israel baik sebagai suatu masyarakat maupun sebagai suatu umat. Sebagai suatau masyarakat, Kehidupan bangsa Israel tidak banyak berbeda dari kehidupan masyarakat-masyarakat lain disekitar maupun yang berada diseluruh Asia barat daya kuno. Memang tentu saja ada hal-hal yang khusus dalam masyarakat-masyarakat lai. Adat istiadat, mata pencaharian, bentuk dan susunan kemasyarakatan , pranata-pranata kemasyarakatan, system pendidikan, lembaga peradilan, system politik dan sebagainya, mempunyai kesamaan dengan masyarakat-masyarakat disekitarnya.
Masyarakat Israel tidak terlepas dari masalah-masalah social yang dihadapi oleh masyarakat umum saat itu, seperti masalah perbudakan, perbedaan social antara yang kaya dan yang miskin, perbedaan gaya hidup antara masyarakat kota dan masyarakat pedesaan, masalah-masalah perlakuan pada orang asing, masalah-masalah dilapangan hukum dan keadilan, kecenderngan untuk mengabaikan hukum resmi (dalam hal ini Torah) dalam masyarakat, konflik-konflik social, masalah dekadensi moral dan sebagainya. Hal tersebut dapat diketahui dari sentilan-sentilan yang dikemukakan oleh para nabi atau para penulis kitab-kitab PL.

Dipihak lain kehidupan Israel sebagai umat Allah jelas berbeda dari umat-umat beragama lain yang berada disekitarnya. Ini dikarenakan atas kepercayaan Bangsa Israel yang monoteistis ketimbang dengan bangsa disekitarnya yang menyembah kepada banyak dewa-dewi atau yang bersifat politestis yang khusus.  Kepercayaan kepada Yahweh ini jelas menghendaki suatu perilaku etis yang khusus pula. Dan hal ini dapat kita temukan dalam kumpulan-kumpulan kitab taurat didalam lima kita kitab Musa (Pentateukh).
Namun walaupun demikian, kita juga mendengar kritikan yang tajam dari para nabi Israel bahwa Israel adalah umat yang keras kepala, tegar tengkuk dan berkepala batu (Yes 48:4; Yer 17:23; 19:15; Yeh 3:7), dimana mereka berulang kali murtad terhadap Tuhan dan mereka kembali berbalik menyembah dewa-dewa lain atau disebut sebagai penyembah berhala orang kafir. Mungkin saat ini ada penelitian yang negative yang sama terhadap umat Israel dan turut menghakimi mereka. Namun timbul pertanyaan, mengapa suatu umat yang dipilih oleh Allah sendiri untuk menjadi umat kesayanganNya bisa berperilaku seperti ini? Dapat dimengerti sikap yang oleh para nabi disebut sebagai “sikap keras kepala”  bila kita juga memahami dengan baik kehidupan sehari-hari Israel sebagai suatu masyarakat. Sikap seperti itu terbentuk akibat lemahnya system pendidikan iman Israel, tantang dan kesukaran hidup yang dialami sehari-hari oleh setiap individu Israel dan kenyataan bahwa kepercayaan kepada Yahweh kurang dihayati dengan sungguh oleh kebanyakan orang Israel.



-          Pdt. Dr. Marthinus Theodorus Mawenr, Perjanjial Lama & Teologi Kontekstual. Jakarta: BPK Gunung Mulia 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar