Jumat, 19 Juli 2013

Sedikit Belajar Bahasa Daerah Sabu NTT

Era Nga'a, Nga'a. Era Jigga Perai = Ada makan, makan. Ada Kerja, lari.
Mai ma Nginu ai ko = Mari minum Air dulu
Dai Meringi lodo de = Hari ini dingin sekali
Menganga = lapar
Kae nga'a = tangan
Kae Jalla = kaki
Kattu = kepala
Ru Kattu = rambut
Bole meda'u = jangan takut
Mai we di ma Jigga hela'u-la'u = marilah kita kerja sama-sama
Nginu Kowi ko = minum kopi dulu

Dai ta bale ke ya = saya ingin pulang
Dai haja ya nga au = aku sangat sayang kamu
bole bani nga ya = jangan marah dengan saya
Dai Banni iye aulodo de = cantik sekali kamu hari ini/ kamu cantik sekali hari ini
Dai Padda ade ya = aku sangat sakit hati (kecewa).
Jammiae = pagi

Hedai Manu = daging ayam
Hedai wawi = daging babi
hedai Ngaka = daging anjing
Hedai nadu'u = daging ikan
hedai Hapi = daging sapi

Deo : Tuhan/Allah
Muri Di = Tuhan Yesus
Deo Ama = Allah Bapa
Deo Ana= Allah Anak

Mai Ma de = mari sini, mari kemari, ayo kesini
do tarra-tarra = sungguh-sungguh
Bole pe Kale lai = jangan cari masalah
Bole pe hala = jangan berkelahi
Ado do iye kiri pe hala = tidak baik kalau berkelahi



Sedikit mengetahui Bahasa Sabu NTT

Ta lami? = mau kemana?
Ta la Pehia ko = mau jalan-jalan dulu
Pehia lami?= jalan-jalan kemana?
la kale bara la mall ko = mau cari pakaian di mall dulu

Nga'a = makan
Mai ma nga'a = mari makan
Nga'a nga ninga? = makan dengna apa?
Nga'a nga hedai = makan dengan daging

Menganga = lapar
ya = saya
au = kamu/lu
nadu? =siapa?
meda'u = takut
bole meda'u = jangan takut
bajji = tidur
mai we ma bajji = mari tidur/ ayo mari tidur

Ta nga? = kenapa?
Di = kita
Hedai = daging
Ngallu = angin
Madda = Malam


Bagaimana Kita Mengasihi Tuhan? Bagian II

Mari kita melihat Apa yang Alkitab katakan mengenai Kasih. ketika orang-orang Farisi berkumpul dan salah satu seorang ahli taurat berkata untuk mencobai Yesus mengenai hukum manakah yang terutama yang terdapat dalam Hukum Taurat (Mat 22:34-40), apa yang Yesus katakan?  Yesus menekankan yang terutama ialah Mengasihi Tuhan, kemudian dalam ayat yang 39 dikatakan Kasihilah sesamamu manusia. Siapakah sesamamu manusia disini? mari kita coba melihat pertanyaan seseorang yang megajukan pertanyaan mengenai siapakah sesamaku manusia dalam kisah Orang samaria yang murah hati (Lukas 10:25-37) dalam kasus ini berawal dari seorang ahli taurat bertanya bagaimana mendapatkan hidup yang kekal, dan kemudian Yesus berbalik dan bertanya mengenai apa yang tertulis dalam hukum taurat, dan ia pun menjawab mengenai hukum pertama mengenai Mengasihi Allah dan kedua mengenai mengasihi sesamamu manusia. dan dilanjutkan dengan pertanyaan dari ahli taurat tu tentang siapakah sesamaku manusia. dan dilanjutkan oleh Yesus dengan perumpamaan orang samaria yang murah hati yang kemudian datang menolong orang yang dikeroyok oleh sekelompok penyamun, ia membawa dan mengobatinya hingga sembuh.

Dari perumpamaan ini kita mendapat kesimpulan bahwa mengasihi disini ialah yang datang dari dalam hati yang tulus dan pengenalan akan Kristus. apa yang dikatakan dalam hukum pertama mengenai kasih adalah itu merupakan patokan utama kita sebagai orang kristen. bagaimana mungkin kita bisa mengasihi sesama kita jika kita tidak mengasihi Allah terlebih dahulu. Ingat! apa yang dikatakan Allah dengan kalimat mengasihi? apakah hanya sekedar mengasihi dengan tindakan kecil atau hanya pengakuan dimulut saja? bukankah Alkitab berkata agar kita dapat mengasihi Allah dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dengan segenap kekuatan, dan dengan segenap akal budi kita? apa maksudnya ini? apakah ini hanya sekedar kata-kata biasa saja? tentunya tidak. tentunya Allah menekankan bahwa ketika kita mengambil keputusan untuk mengasihi Tuhan, artinya kita menaruh keseluruhan hidup kita untuk mengasihi Tuhan. bukan hanya sekedar mengasihi, tetapi mengasihi dengan Power Full. sebab ketika kita mengasihi Allah dengan segala keseluruhan hidup kita, maka kasih yang dari Allah itu akan turun dalam kehidupan kita dan kemudian itu kita pancarkan melalui tindakan kita kepada sesama kita. sebab bagaimana seseorang berkata bahwa saya mengasihi sesama saya sedangkan ia tidak mengasihi Tuhan? oleh sebab itu. bagaimana kita dapat mengasihi sesama kita ialah dengan cara kita terlebih dahulu mengasihi Allah.
kita tidak dapat mengaihi musuh kita, kita tidak dapat mengasihi orang-orang yang menyakiti hati kita jika kita memiliki pengenalan akan Kasih Allah dalam kehidupan kita dan jika kita juga tidak mengasihi Allah secara utuh. ingatlah Orang samaria yang tadi, apa yang ia lakukan? apakah ia mengenal orang itu? tentunya tidak. lalu apa yang ia lakukan? ia membawanya, dengan penuh tanggung jawab ia pergi mengobati ke kota hingga sembuh. ini adalah suatu bentuk atau tindakan nyata dari cara kita mengasihi sesama kita manusia. bukan hanya sebatas orang-orang yang kita kenal saja, namun mereka yang perlu kita kasihi adalah mereka yang tidak mendapat kasih dari orang Lain dan kita datang dengan Kasih yang dari pada Allah, dan melalui kasih itu kita dapat memperkenalkan kasih Allah itu lewat hidup kita kepada banyak orang.

Benarkah Kita Mengasihi Tuhan? bagian I

Berbicara mengenai KASIH ini sudah tidak asing lagi, baik dikalangan orang tua maupun anak-anak sudah mendengar mengenai kata ini. Bagaimana mengasihi sesama.. bagimana mengasihi seorang yang menyakiti hati kita, bagaimana mengasihi orang yang sangat membenci kita dan berbagai macam kasih lainnya. Saya memiliki seorang sahabat, ia memiliki seorang kekasih dan ia begitu mengasihi dan mencintainya, dan merekapun berjanji untuk saling setia hingga suatu saat mereka bercita-cita memiliki keluarga atau rumah tangga yang bahagia. Tapi dengan seiring berjalannya waktu, kebosanan demi kebosanan pun mulai datang. Dan akhirnya kekasihnya pun pergi dan menghianati dia. Dan akibatnya itu menimbulkan kebencian yang sangat mendalam dalam dirinya. Ia tidak lagi ingin bertemu dengan mantan kekasihnya itu. Bahkan ia mengatakan bahwa ia akan membencinya seumur hidup. Saat itu saya belum begitu lama bersahabat dengannya. Dan kemudian setelah sekian lama ia datang kepada saya dan memberikan setiap keluhannya, dan saya mengatakan kepadanya bahwa “tidakkah kamu harus bersyukur? Coba kamu lihat dirimu, ketika engkau mulai membenci orang itu maka kesedihan itu akan terus ada dalam hatimu karena engkau tidak mau mengampuni dia”. Saya terus menerus berusaha untuk menghiburnya, namun saya melihat bahwa begitu besar kebencian yang ada dalam hatinya. Dan itu membuat dia menjadi depresi. Satu lagi kejadian, seorang yang sudah bersahabat sejak lama, dan ini tentunya bukan lagi hal yang biasa. Mereka bersahabat begitu lama, namun suatu saat merekapun terlibat perseteruan dan akibatnya mereka menjadi bermusuhan, dan masing-masing menceritakan kejelekan masing-masing, sehingga mereka memilih untuk tidak lagi berdamai. Dari contoh ini, ini hanyalah sebagian kecil contoh dimana ada begitu kebencian yang hebat didalamnya. Tentunya setiap orang ketika berada dalam posisi demikian tentunya akan melakukan hal-hal yang demikian pula.
            Saya hanya ingin mencoba memberikan pemahaman kita mengenai betapa pentingnya kita mengasihi, terutama kita sebagai umat kristiani. Bukankan kita sudah mendengarnya sejak kecil bagaiamana kita harus mengasihi orang lain, diceritakan disekolah minggu bahkan dirumah. Namun apakah itu kita aplikasikan dalam hidup kita? Dan bagaimana kita mengatakan saya adalah orang Kristen, saya sangat mengasihi Tuhan, saya sangat mengasihi teman saya bahkan musuh saya! Apakah benar demikin?  Bagaimana kita membuktikannya bahwa kita mengasihi Tuhan dan sesame kita? Apakah kita mengasihi sebatas karena orang lain mengasihi kita dan apakah kita mengasihi dikarenakan mereka adalah orang yang pantas dikasihi dan yang lainnya tidak? Lalu apa makna mengasihi sesungguhnya? Dan apakah kita hanya bisa mengasihi orang yang kita kenal saja?
            Pertanyaan-pertanyaan seperti ini banyak diberikan kepada kita. Dan mungkin dari pertanyaan ini kita akan mengambil kesimpulan bahwa ya… saya bisa mengasihi.

KEUNGGULAN KHOTBAH EKSPOSITORI

1.      Firman Allah diajarkan: jadi seorang pengkhotbah  ekspositori  harus  terleih dahulu bergumul dengan nas Alkitab.  Oleh sebab itu seorang pengkhotbah seperti ini harus lebih banyak mempelajari  Firman Allah. Jadi melalui khotbah ini pendengar atau jemaat  tidak hanya sekedar mendengar  mengenai teori ataupun filsafat berkhotbah, tetapi mereka juga bisa belajar Firman Allah. Karena disini nas Alkitab menjadi pusat dari khotbah itu sendiri dan setiap jemaat yang mendengarkannya pun memiliki kesempatan untuk lebih sering bertemu dengan Firman Allah. Jadi melalui khotbah ekspositori ini pengkhotbah dan pendengar memiliki  pertumbuhan secara bersama-sama secara Alkitabiah. Khotbah ini juga lebih menekankan inti utama dari Alkitab itu sendiri dan mendorong  kepada para jemaat untuk memperhatikan setiap teks Alkitab.
2.      Perhatian Pengkhotbah diluaskan. Jika kita berkhotbah ekspositori secara berseri  bagian yang biasanya tidak dikhotbahkan juga harus dikhotbahkan.  Oleh karena itu sebagai seorang pengkhotbah harus memperhatikan dan mempelajari teks ALkitab yang biasanya tidak dipelajari. Artinya ia harus mengkhotbahkan teks yang tidak ditekankan juga. Proses ini dapat memperluaskan khotbah kita, karena teks Alkitab yang baru dipelajari  dan perhatian kita menjadi lebih luas. Biasanya para pengkhotbah memiliki tema yang ditekankan dan disukai, itu dikarenakan mereka tidak memiliki banyak pengetahuan tentang isi yang lainnya. Jadi jika kita ingin mengetahui lebih banyak tentang Alkitab, maka kita harus memiliki minat , karena kita berminat banyak, maka kita akan sungguh-sungguh belajar. Untuk berkhotbah ekspositori  jika kita belajar atau bergumul dengan yang ada diluar minat kita, kita akan memperhatikan tema yang baru dan akan belajar tentang berbagai bagian tema.
Misalnya: Kalau seorang pengkhotbah mau menafsirkan kitab Pengkhotbah secara ekspositori, ia pasti menemukan isi yang biasanya tidak diminati. Oleh karena itu Pengkhotbah masuk ke bagian tema yang baru, dan ini menjadikan pengkhotbah lebih bervariasi. Tetapi jika Pengkhotbah berkhotbah secara topical saja, pengkhotbah selalu menekankan  tema yang disukainya dan berkhotbah searah saja. Lalu kemudian para pendengar merasa bosan tentang tema yang diulang-ulang. Biasanya pengkhotbah merasa tema yang dia bawakan berulang itu merasa penting baginya namun ternyata tidak selalu disukai oleh pendengar.

3.      Subyektifitas Pengkhotbah diatasi. Pengkhotbah ekspositori juga ternyata dapat mencegah pengkhobah  jatuh kedalam pikiran subyektifdiri sendiri yang dikarenakan oleh cara khotbah itu sendiri. Dan akibatnya khotbha kita tidak dapat menjadi obyektif total. Jika kita berkhotbah, kita akn sulit untuk berbebas dari subyektifitas pengkhotbah secara total. Tetapi pengkhotbah dapat mengecilkan subyektivitas yang dimilikinya melalui khotbah ekspositori.
4.      Kesulitan Memilih teks dipecahkan.  Jika berkhotbah dengan cara ekspositori berseri , teks yang dikhotbahkan berikutnya sudah ada di dalam urutannya.  Biasanya kesulitan para pengkhotbah adalah dengan topic apa yang akan dikhotbahkan minggu depan. Tetapi jika kita berkhotbah secara ekspositori, waktu untuk memilih teks dapat dipakai untuk menyiapkan khotbah.

5.      Pengkhotbah diyakinkan. pengkhotbah ekspositori dapat mencegah pemikiran pribadi pengkhotbah. Jadi khotbah itu menjadi kerygma Allah yang benar dan pengkhotbah meyakinkan diri bahwa inilah pesan dari Allah dan bukan hanya pesan si pengkhotbah sendiri. 

Jumat, 12 Juli 2013

ATURAN WAJIB “CURHAT”



“Tidak… Gimana bisa temen sekelas tahu masalah gw? Gw kan Cuma cerita ama si Dian doank. Hmm curhak mank gak boleh sembarangan Sob, You Should know the Rule”. Yukkk kita simak aturannya dalam memberikan curhatan kita:

Pilih-pilih Temen
Jangan curhat kesembarang orang. Pastikan orang tersebut dapat dipercaya dan dapat memegang rahasia kita. Jika kita salah memilih temen curhat, maka curhatan kita bisa tersebra kemana-mana dan tentunya kita nggak mau donk pastinya. Iya kan???

Nggak saat emosi
Nah… satu pertanyaan nh… apa sih yang menjadi tujuan kita jika kita ingin curhat? Kita pengennya dapet solusi atas masalah kita ato pengen share aja? Pastinya nggak buat ngejelek-jelekin orang lain kan? Kalo tujuanmu biar dapet solusinya, pastikan orang yang kamu curhatin itu bisa ngasih solusi yang baik buat kamu. Tapi kalo tujuanmu untuk berbagi rasa, pastikan orang yang kamu curhatin bisa bikin suasana hatimua menjadi lebih baik.

Konteks Yang semibang

Curhat bisa menambah kedekatan kita dengan sahatab terkasih. Tapi jangan terlalu berlebihan dalam membuka diri sob. Hingga sohib kita tahu segala sesuatu tentang hidup kita. Cukup hanya sejauh lawan bicara saja. 

Kontekstual Perjanjian lama

Konteks Perjanian Lama
Kata “konteks’ berasal dari bahasa latim con yang berarti “bersama-sama menjadi satu” dan textus yang berarti “tersusun/terjalin”. Secara harafiah berarti “yang terjalin/tersusun bersama-sama menjadi satu kesatuan”. Dalam arti yang lebih luas sebagaimana dipahami dalam ilmu penafsiran Alkitab, konteks juga berarti situasi kemanusiaan dan kesejarahan yang empiris diluar teks  yang turut melatar belakangi  terbentuknya suatu teks serta ikut  memperngaruhi maksud dari teks trsebut.
1.   Masyarakat dan umat Israel
Konteks PL yang paling utama ialah kehidupan bangsa Israel baik sebagai suatu masyarakat maupun sebagai suatu umat. Sebagai suatau masyarakat, Kehidupan bangsa Israel tidak banyak berbeda dari kehidupan masyarakat-masyarakat lain disekitar maupun yang berada diseluruh Asia barat daya kuno. Memang tentu saja ada hal-hal yang khusus dalam masyarakat-masyarakat lai. Adat istiadat, mata pencaharian, bentuk dan susunan kemasyarakatan , pranata-pranata kemasyarakatan, system pendidikan, lembaga peradilan, system politik dan sebagainya, mempunyai kesamaan dengan masyarakat-masyarakat disekitarnya.
Masyarakat Israel tidak terlepas dari masalah-masalah social yang dihadapi oleh masyarakat umum saat itu, seperti masalah perbudakan, perbedaan social antara yang kaya dan yang miskin, perbedaan gaya hidup antara masyarakat kota dan masyarakat pedesaan, masalah-masalah perlakuan pada orang asing, masalah-masalah dilapangan hukum dan keadilan, kecenderngan untuk mengabaikan hukum resmi (dalam hal ini Torah) dalam masyarakat, konflik-konflik social, masalah dekadensi moral dan sebagainya. Hal tersebut dapat diketahui dari sentilan-sentilan yang dikemukakan oleh para nabi atau para penulis kitab-kitab PL.

Dipihak lain kehidupan Israel sebagai umat Allah jelas berbeda dari umat-umat beragama lain yang berada disekitarnya. Ini dikarenakan atas kepercayaan Bangsa Israel yang monoteistis ketimbang dengan bangsa disekitarnya yang menyembah kepada banyak dewa-dewi atau yang bersifat politestis yang khusus.  Kepercayaan kepada Yahweh ini jelas menghendaki suatu perilaku etis yang khusus pula. Dan hal ini dapat kita temukan dalam kumpulan-kumpulan kitab taurat didalam lima kita kitab Musa (Pentateukh).
Namun walaupun demikian, kita juga mendengar kritikan yang tajam dari para nabi Israel bahwa Israel adalah umat yang keras kepala, tegar tengkuk dan berkepala batu (Yes 48:4; Yer 17:23; 19:15; Yeh 3:7), dimana mereka berulang kali murtad terhadap Tuhan dan mereka kembali berbalik menyembah dewa-dewa lain atau disebut sebagai penyembah berhala orang kafir. Mungkin saat ini ada penelitian yang negative yang sama terhadap umat Israel dan turut menghakimi mereka. Namun timbul pertanyaan, mengapa suatu umat yang dipilih oleh Allah sendiri untuk menjadi umat kesayanganNya bisa berperilaku seperti ini? Dapat dimengerti sikap yang oleh para nabi disebut sebagai “sikap keras kepala”  bila kita juga memahami dengan baik kehidupan sehari-hari Israel sebagai suatu masyarakat. Sikap seperti itu terbentuk akibat lemahnya system pendidikan iman Israel, tantang dan kesukaran hidup yang dialami sehari-hari oleh setiap individu Israel dan kenyataan bahwa kepercayaan kepada Yahweh kurang dihayati dengan sungguh oleh kebanyakan orang Israel.



-          Pdt. Dr. Marthinus Theodorus Mawenr, Perjanjial Lama & Teologi Kontekstual. Jakarta: BPK Gunung Mulia 2012

Kamis, 11 Juli 2013

Letting Go

Tuhan Yang memberi, Tuhan yang mengambil, Terpujilah nama Tuhan!"  Ayub 1:21

Putus Cinta.. Oh no! Dunia serasa suram.. gak ada lagi hari bersama si dia. Rasanya pasti sedih tapi kita harus bisa letting go,  meski nggak rela dan gak siap "biarkan dia pergi...". Hanya itulah satu-satuny cara supaya kita bisa memulai lembaran hidup yang baru. Ternyata dalam banyak hal kita harus belajar untuk letting go atau rela untuk melepaskan sesuatu. Ketika apa yang kamu punya, apa yang kamu sayang diambil oleh Tuhan, bisakah kamu merelakannya? ataukah kamu nangis-nangis mohon supaya hal yang kita sayangi itu gak diambil oleh Tuhan? Belajar dari Ayub sob. Tokoh ini gak berhenti ngasih inspirasi buat anak muda kayak kita.


Dari sosok Ayub kita belajar tentang letting go.  Kebayang nggak gimana perasaan Ayub ketika harus ngerelain harta bendanya lenyap seketika. Belom lagi kematian anak-anaknya yang ia sayang banget. Sangat sulit bagi Ayub untuk merelakan itu semua terjadi, namun satu hal yang menguatkannya "TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!". Tuhannlah yang empunya segala sesuatuyang kita miliki. Tuhanlah pemilik sesungguhnya dari orang-orang yang kita sayangi. Kita nih sebenernya nggak punya apa-apa sob, namun semua adalah pemebrian Tuhan. Jadi kita harus bersiap jika sewaktu-waktu apa yang kita miliki diambill oleh Tuhan.

Kenapa sih kita perlu belajar tentang letting go atau melepaskan sesuatu? Bro en Sist, banyak orang yang terjebak dengan masa lalunya dan sulit melangkah maju menuju masa depan karena ia nggak bisa melepaskan sesuatu yang ia sayangi. karena itu jangan berlebihan dalam mencintai sesuatu. Pastikan kita tetap mencintai Tuhan lebih dari segalanya. Dengan begitu, kita nggak akan ngerasa berat jika sesuatu yang kita kasihi diambil. Kita belajar menerima kenyataan dan pastinya nggak boleh berlarut-larut dalam kesedihan. Ada lembaran baru yang harus kita buk, ada hari yang lebih baik yang menunggu kita.  Keinginan kita yang mungkin nggak kesampean, biarkan berlalu. Jangan terus meratapi semua itu sebab itu bakal bikin kita melewatkan yang terbaik yang ada dihadapan kit. tegakkan kepalamu dan lihatlah kedepan. Melangkahlah.. jangan menoleh kebelakang lagi dan mantapkan hati untuk kembali bersama dengan Tuhan menjalani hari demi hari.


("Future Generation')

ABG LABIL

Aku lebih mengerti dari pada orang-orang tua, sebab aku memegang titah-titah-Mu.(Mazmur 119:100)
Orang sering menyebut anak muda dengan macam-macam. Salah satunya, Anak Baru Gede alias ABG. kini muncul lagi sebutan ABG baru alias ABG labil alias Ababil.  Hehe.. kok bisa disebut gitu ya?  itu karena perasaannya yang mudah berubah-ubah, gampang jadi galau, gampang tersulut emosi, dan kalo udah begitu pasti diungkapin keseluruh dunia, entah itu lewat facebook, twiter, bahkan youtube. Udah itu efeknya pasti kemana-mana, ke study, ke pelayanan, ke hubungan sama ortu dan yang lainnya. Aduh, gak banget deh kalo karena hal kecil, banyak hal jadi kacau... Suasana hati yang gak stabil itulah yang bikin anak muda dapat sebutan "labil". kalo udah "labil" gitu mana bisa jadi teladan?

Firman Tuhan Jelas nasehatin kita anak muda supaya jadi teladan. Tapi hanya orang-orang yang stabil saja yang bisa kasih teladan yang baik.Nggak mungkin kan kita bisa jadi teladan kalo status-status kita di FB pake bahasa-bahasa planet yang isinyta omelan ato ungkapan amarah. Nggak mungkin juga kita bisa jadi teladan kalo nilai pelajaran kita jeblok gara-gara mood yang lagi gak baik. seorang yang jadi teladan adalah seorang yang dewasa. Dewasa bukan berbicara soal usia namun pola pikir. Nggak semua ABG labil, banyak juga mereka yang masih muda namun memiliki pola pikir yang dewasa dan punya pengendalian diri yang baik. Banyak juga anak muda yang hikmat dan kebijaksanaannya melebihi orang-orang tua. Dan inilah yang Tuhan kehendaki dalam hidup kita.

Firman Tuhan nasehatin kita anak muda "peroleh hikmat, perolehlah pengertian, jangan lupa dan jangan menyimpang dari perkataan mulutku". Jangan ngokut arus anak muda yang labil namun jadilah pribadi yang stabil dengan memperoleh hikmat Tuhan. Hikmat TUHAN akan menjadikan kita lebih berpengetahuan, dan kita pun semakin mengerti bagaimana bertindak yang benar, bagaimana menjadi teladan, dan memberi dampak positif bagi orang lain. Jika ABG labil hanya berpusat pada dirinya, maka anak mudanya Allah yang stabil akan memikirkan bagaimana supaya hidupnya menjadi berkat buat orang lain. Emosinya lebih terkendali, nggak mudah terbawa oleh suasana hatinyadan tetap konsisten. Jangan jadi labil yah sob... jangan biarkan suasana hatimu merusak banyak hal dihidupmu.
                                                                                                    ('Future Generation')

Lain dulu Lain sekaran

Lagi Naksir

Zaman Dulu: Pura-puranya pinjem buku catatan, cari alesan biar bisa ke rumah doi. balikinnya pun pake di sampulin, ditempelin puisi cinta atau di hias seindah mungkin. berharap doi tahu isi hati kita kalo kita suka dia.
Zaman Sekarang: Semua status doi di FB bakal di-like dan di-koment dengan sangat manis, meskipun statusnya sangat-sangat gak penting.

Minta No HP

Zaman Dulu: Tanya no tlp doi ke temen satu genknya. Kalo udeh dapet, telpon pura-pura tanya PR ato pinjem catatan. Telponnya pun pake acara nukerin duit dulu baru bisa pake nelpon ditelpon umum di seberang jalan.
Zaman Sekarang: Tanya no HP ja nggak lagi butuh telpon rumah. Kalo udah dapet nomor hapenya, sms aja dulu. Nggak PD kalo langsung nelpon. diawali dengan topik nggak guna seperti "lagi ngapain?". Kalo gak dibales rasanya pengen nelen HP bulet-bulet sambil dicocolin sambel dikit.... Kalo doi bales, sms bakal berlanjut ke telpon-telponan. Apalagi kalo pake provider yang sama, udah dah, kayak jalan tol aja tuh..


Ribut Sama Pacar

Zaman Dulu: Berhari-hari nggak nelpon. Ribut lebinh banyak langsung tatap muka. Bisa di rumah, bisa di tempat umum dan jadi tontonan gratis. Kalo putus kabar gak cepet tersebar.
Zaman Sekarang: Berantem via SMS sampe inbox penuh. mata udah ngantuk banget juga doi masih SMS terus lanjutin berantem. Nggak cukup disitu, status di FB yang tadinya in a relationship..... tau-tau aja jadi single. Perubahan status seperti ini yang kemudian jadi cela para oportunis.. hahahahahahah

Humor "Siapa Yang Terhebat"

Wikipedia: Aku tahu semuanya.
Facebook: Aku kenal dengan semua orang.
Google: Aku Punya semuanya.

Mozilla: Tanpa aku kalian tidak bisa di akses.
Explorer: Kan aku masih ada.
Mozilla: Apaan sih kamu! ganggu acara orang aja!
.
Internet: Sudah-sudah, jangan banyak ngomong kalian semua. kalau tidak ada aku, kalian semua tidak bakal ada.

Facebook: Huh, yang paling sering dikunjungi kan aku, jadi aku yang terbaik.
Yahoo: Facebook .. ingat! tanpa aku kamu gak akan bisa buat e-mail.
Google: Yahoo, tidak hanya kamu, Aku juga bisa buat e-mail.

Internet: AKu yang paling hebat.
Komputer: Aku paling dewa di sini.

PLN: Brisik kalian semua. Aku matiin nh listriknya.
Genset: Tenang aja.... kan masih ada aku.
PLN: Diem kamu!......
Pertamina: Awas kalian semua, aku stop pasokan BBM baru tau rasa....
Solar cell: Tenang... selama masih ada saya , semuanya aman...


Matahari: eiiitttttt..... Enggak aku kasih sinar baru tahu rasa deh..
Air, Batu Bara, Petir dll: Tenang.... masih ada kami.
Bumi: Kalau gak ada aku, kalian pasti gak akan ada.
Jagad Raya: Kalian semua, kalau gak ada aku, kalian semua gak bakalan ada..

TUHAN:  Tanpa Saya, kalian semua tidak pernah ada.....

Rabu, 10 Juli 2013

Masa Kanak-kanak Yesus

Dua Pasal pertama Injil Matius dan Lukas sepakat bahwa Yesus dikandung oleh Maria tanpa campur tangan Yusuf dan bahwa ia adalah keturunan Daud. Meskipun Demikian, terdapat perbedaan-perbedaan penting diantara keduanya. Matius menggambarkan kunjungan orang-orang majus, perjalanan ke Mesir dan tinggal di sana untuk sementara waktu, pembunuhan bayi besar-besaran oleh Herodes Agung--semua diceritakan dari sudut pandang Yusuf. Sedangkan Lukas memuat cerita kelahiran Yohanes pembaptis, kunjungan malaikat kepada Maria, kunjungan para gembala, penyunatan Yesus, penyerahan Bait Allah dan akhirnya catatan tentang percakapan Yesus di Bait Allah pada usia 12 tahun.

Ada beberapa keberatan untuk menganggap cerita-cerita ini sebagai sejarah secara harafiah. Hal tersebut sulit di cocokkan dengan skema waktu yang memuaskan, baik pelarian diri ke Mesir (Matius) maupun kembalinya ke rumah di Nazareth (Lukas). Dalam Kisah tersebut terdapat gambaran yang mustahil mengenai bintang penunjuk jalan dalam perjalanan ke Mesir (Matius) dan ketidakpastian tentang sensus umum dibawah pemerintahan Agustus (Lukas). Sebagai anak seorang tukang kayu sepertinya tidak mungkin Yesus berdebat di Bait Allah pada usia 12 tahun. tidak ada penulisan PB yang lain mengatakan pengetahuannya tentang kehamilan seorang gadis. Menghadapi berbagai kesulitan tentang historisitas ini (perlu di catat bahwa tidak ada tulisan-tulisan sekuler membenarkan kejahatan Herodes membunuh bayi secara besar-besaran). Banyak Sarjana lebih suka memandang cerita-cerita itu sebagai improvisasi Matius dengan dasar naskah-nsakah Perjanjian Lama, sesuai dengan prinsip-prinsip rabinik tentang interpretasi Kitab Suci.  Penting artinya bahwa dalam Matius kehendak Allah dinyatakan melalui mimpi seperti yang terjadi pada Yusuf, leluhur PL dan seperti leluhur itu pergi ke Mesir, demikian halnya Yusuf dalam PB. Beberapa sarjana mengakui bahwa sebagai sejarah, cerita itu amat rentan, namun juga di anut bahwa ada inti fakta yang mendorong kedua penginjil memberitakan iaman Kristen mereka tentang Yesus sebagai anak Daud dan Anak Allah.  Hal itu mereka lakukan dengan menunjuk kepada Yesus adalah penggenapan nubuat PL. Hidup, kematian dan kebangkitanNya telah diramalkan dan bukan terjadi secara kebetulan. Cerita-cerita itu juga menjawab keberatan bahwa Yesus adalah orang Galilea dan karena itu bukanlah Mesias dan bahwa keadaan pada saat kelahiranNya merupakan hal yang tidak lazim.

Tulisan-tulisan Kristen kemudian hari mengandung banyak sekali fantasi yang merupakan penjabaran dari apa mereka temukan dalam Matius dan Lukas. Banyak diantaranya menjadi dasar kesalehan populer dan menunjukkan anak-anak: kelahiranNya di kandang, duda Yusuf tua dengan anak-anak hasil perkawinan sebelumnya, tiga orang raja dan nama-namanya dan kepercayaan (secara meluas diterima oleh para teolog katolik) bahwa kelahiran secara ajaib itu bukan saja terjadi karena dikandung oleh Roh Kudus melainkan juga sembilan bulan kemudian dilahirkan tanpa melalui atau merusakkan organ-organ fisik Maria.

Teolog-teolog modern mempertahankan bahwa pengandungan oleh seorang dara Merupakan fakta sesungguhnya , percaya bahwa hal itu sesuai dengan tindakan Allah dalam memberi permulaan baru kepada manusia. Kelahiran Yesus yang ajaibmerupakan pemutusan yang menentukan dengan tatanan yang lama. Teolog-teolog yang lain menyatakan bahwa tanpa andil laki-laki akan merupakan kekurangan pada kemanusiaan Yesus. Karena it, mereka cenderung menempatkan cerita-cerita tersebut dalam aliran midrasmungkin terilhami oleh terjemahan LXX atas Yesaya 7:14 yang didalamnya kata Ibr ha’almah  (perempuan muda) diterjemahkan dengan parthenos  (anak dara, gadis). Yesaya prihatin terhadap kesulitan-kesulitan abad ke-8 sM, bukan pada momen zaman Mesianik di masa depan. Nabi itu menyerukan bahwa dalam waktu Sembilan bulan yaitu pada saat kelahiran Mesias, musuh-mush raja tidak lagi menjadi ancaman dan akan segera terjadi perdamaian (Yes 7:15-16)





Sumber:
W.R.F. Browning, Kamus Alkitab (A Dictionary of The Bible) Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008

Apologetika Adalah.........."

Secara tegas, Apologi berarti pembelaan diri--seperti apologia pro vita Sua, karya Newman (1864): Pembelaan diri demi kehidupannya. terdapat banyak sekali contoh apologi, baik dalam Alkitab Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. begitulah Yesaya 40-45 memuji Allah Israel dan membandingkan Dia dengan ketiadaanyang disembah oleh para penyembah berhala. Philo dan Yosefus menulis kepada para penyembah berhala untuk memuji Yudaisme. di Alexandria Philo mempertahankan bahwa tradisi Ibrani telah setua  dan seterhormat Helenisme, dan di Roma, dalam banyak karya Josephus menjelaskan bahwa pemberontakan orang Yahudi di hasut oleh sekelompok kecil orang-orang fanatik.

Kisah Para Rasul juga memiliki tujuan apologetis, sekalipun bukan itu maksud utama kitab ini. Namun seperti injil ketiga, dimana kepala pasukan dikaki salib menyatakan bahwa Yesus adalah orang benar, dalam Kisah Para Rasul ditunjukan bahwa umat Kristen adalah warga negara kekaisaran Romawi yang taat hukum. Jika mereka Teraniaya itu adalah akibat dari perbuatan-perbuatan orang Yahudi yang berupaya menghambat perkembangan Injil.  ditunjukan bahwa pembesar Romawi (Seperti Galio dan yang lain) akrab dengan Paulus, yang dapat membanggakan kewarganegaraan Romawinya dan dapat memanfaatkannya (Kis 22:27).

Bagaimana Saya Dapat menjadi Seorang Kristen?

"Sebagaimana raja-raja dan pahlaw an-pahlawan di bumi ini secara fisik dilahirkan dalam cara yang sama seperti orang yang paling sederhana. Hal ini berlaku bagi semua orang, dimana saja, melalui segala ruang dan waktu. tidak ada kekecualian.  Tuhan Yesus pernah mengucapkan Firman yang eksklusif sama sekali "tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku" (Yoh 14:6).

Yesus Kristus berkata bahwa orang yang ingin masuk kedalam kerajaan Allah harus "dilahirkan kembali" Yoh 3:3. Kelahiran kembali adalah tindakan hati  untuk percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. ketika kita dilahirkan secara fisik kedalam dunia ini, secara rohani kita mati.Karenanya kita membutuhkan kelahiran yang rohani. Kelahiran rohani melibatkan dua segi.

  Yang Pertama ialah menyadari  bahwa kita sendiri tak dapat melakukannya. kita adalah orang-orang berdosa yang membutuhkan  pertolongan. Apakah orang yang berdosa Itu? Orang berdosa ialah orang yang terpisah dari Allah, ia telah memilih jalannya sendiri dan karena dosanya ia tidak dapat kembali kepada Allah dengan usahanya sendiri.  Dosa dapat ditandai sebagai keangkuhan yang berpusat pada diri sendiri dan sifat mementingkan diri sendiri. secara lebih khusus lagi, dosa merupakan pelanggaran terhadap norma-norma kebenaran yang telah ditetapkan oleh Allah yang kudus. Jadi, Kita harus mengakui bahwa kita memerlukan seorang Juruselamat, seorang yang akan memenuhi segala tuntutan Allah. satu-satunya oknum yang sudah melakukan ini ialah Yesus Kristus. hanya hidupNya saja yang berkenan kepada Allah. Dia mati di kayu salib sebagai pengganti kita karena dosa-dosa kita, sebab kita sama sekali tida dapat berkenan kepada Allah melalui jasa kita sendiri.  Maka, Langkah pertama ialah menyadari bahwa kita semua telah berdosa, melanggar hukum Allah, sehingga sebagai akibatnya patut menerima hukuman. Kitab suci berkata "Upah dosa ialah maut" (Roma 6:23).

Setelah seseorang melihat kondisinya yang tanpa harapan dan menyadari bahwa Kristus Yesus menawarkan cara penyelesaian satu-satunya, maka langkah berikutnya yang perlu diambil ialah menerima tawaran keselamatan itu secara pribadi, sebab "karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Yesus Kristus, Tuhan kita" (Roma 6:23). Pada waktu seseorang menerima Kristus sebagai Juruselamatnya dengan jalan menerima karunia Allah, saat itulah ia dilahirkan kembali. Caranya sederhana sekali, sehingga seorang anak kecilpun dapat melakukannya; namun juga sukar, karena pertama-tama kita harus menyadari  bahwa kita tidak dapat melakukannya sendiri. Yesus pernah berkata bahwa untuk memasukikerajaan sorga, kita harus bersedia merendahkan diri seperti seoran g anak kecil dan dengan demikian barulah Allah menerima  dia (Mat 18:3).

Bagaimana dengan Saudara? sudahkah saudara melakukan hal itu? sudahkah saudara dilahirkan kembali? kalau saudara bersedia maka akan dianjurkan agar saudara mau berdoa seperti berikut: " Tuhan Yesus, saya tahu bahwa saya orang berdosa; saya menyadari bahwa sata tidak mampu berbuat apa-apa. terimakasih Tuhan, sebab Engkau rela mati karena saya. saat ini, saya percaya kepadaMu dan menerima Engkau sebagai Tuhan dan Juruselamat saya. Saya berdoa dalam nama Tuhan Yesus, Amin".
Jikalau saudara telah berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Allah, maka saudar sudah menjadi seorang kristen!


Sumber:

- John Mc Dowell & Don Stewart , Jawaban Bagi Pertanyaan Orang Yang Belum Percaya, Penerbit: Gandum Mas

Selasa, 09 Juli 2013

SENTRALITAS GEREJA DALAM PEMBINAAN WARGA GEREJA

SENTRALITAS GEREJA DALAM PWG
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

Ketika kita mulai berbicara tentang pendidikan, dan atau pembinaan, biasanya asosiasi berpikirnya langsung terarah pada lembaga-lembaga “sekolah”, lembaga-lembaga kursus yang formal maupun non-formal. Padahal media atau konteks pendidikan bisa dilakukan oleh keluarga (di rumah), gereja, sekolah, kursus-kursus, bahkan lingkungan masyarakat di mana saja seseorang itu hadir. Masing-masing konteks pendidikan mempunyai “core” tugasnya. Dalam kaitannya dengan pendidikan iman Kristiani, di samping menjadi tugas utama dari pendidikan dalam keluarga, tetapi juga menjadi tugas penting dari gereja.  Karena itu pembinaan warga gereja adalah merupakan wilayah tanggung jawab utama dari gereja, bukan keluarga, sekolah atau kursus, dll. Karena itu, gereja tidak dibenarkan apabila melemparkan tanggung jawab itu kepada institusi-institusi lain, seperti sekolah, dll.
Dalam realitas pelaksanaan tugas pelayanan gereja, khususnya di bidang PWG, belum terlaksana secara komprehensif. Artinya bahwa bisa saja sebagian sudah terlaksana, misalnya telah melakukan ibadah di gedung gereja yang diisi dengan pujian, kesaksian umat dan kemudian mendengarkan khotbah pendeta. Tetapi sebenarnya itu barulah merupakan sebagian kecil dari sekian banyak tugas pembinaan gereja terhadap umat yang dipercayakan dan diperhadapkan Tuhan kepadanya. Pembinaan warga gereja seharusnya bersifat komprehensif, yaitu menyentuh dan atau menjawab seluruh konteks kebutuhan umat.
Dilandasi dengan pokok pikiran di atas, maka pada bagian ini, pertama-tama  secara khusus akan dibahas tentang pengertian gereja dan posisi sentralitasnya dalam pelaksanaan tugas PWG. Asumsi dasarnya adalah jika pemahaman kita terhadap hakikat gereja jelas dan tepat, maka itu akan menjadi modal serta sekaligus sebagai pemberi arah yang akurat bagi pelaksanaan dan pencapaian sasaran (goal) PWG, baik dalam konteks gereja lokal, sinodal maupun gereja dalam arti universal. Dilandasi dengan asumsi tersebut, maka perlu dipaparkan  beberapa point penting berikut ini :

a.   Pengertian Gereja Secara Teologis
      Tulisan ini tidak persiapkan untuk melakukan studi kata (word study) tentang “gereja”, melainkan lebih diarahkan  pada tataran pengertiannya; baik pengertian teologis maupun pengertian praktis. Salah satu pengertian teologis tentang gereja, diungkapkan oleh French L. Arrington dalam bukunya “Christian Doctrine; A Pentecostal Perspective” : The Church is the community of faith. Where the word of God is preached and received by faith there is the church.[1] Tetapi pada  sisi lain,   gereja dapat pula didefinisikan sebagai sebuah persekutuan yang diberi spesifikasi atau konotasi yang khusus, yaitu sebagai persekutuan orang-orang percaya, yang dipanggil, dipilih dan dikuduskan untuk menjadi berkat bagi semua orang atau sesama manusia (bnd. Kej. 12:2-3; Kel. 19:5-6; Ul. 4: 20; 7:26; 14:2; 26:18; Tit. 214; 1Petr. 2:9).  Dalam rangka panggilan, pilihan dan pengudusan (pengkhususan) inilah PL berbicara tentang umat Allah (am Yahwe) yang di dalam PB diterjemahkan ek-klesia, yaitu persekutuan orang-orang yang dipanggil keluar dari ikatan-ikatan lama kemudian dikhususkan untuk menjadi berkat bagi semua orang. Di sini tampak dengan jelas bahwa gereja merupakan persekutuan atau perkumpulan masyarakat iman yang menurut iman Kristiani adalah masyarakat (siapa saja yang terdiri dari orang-orang) yang telah menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan juruselamatnya. Secara teologis gereja dapat diartikan sebagai persekutuan yang lahir dari Allah, karena ia merupakan buah tangan pekerjaan Roh Kudus. Itulah sebabnya, kehadirannya di dunia ini mempunyai pengertian yang special, yaitu: sebagai “agen” atau “mediator” berkat Allah bagi dunia ini.

b.   Gereja adalah Orangnya
      Dilandasi pemahaman pada point a di atas, maka saya ingin mengutip apa yang dikemukakan oleh Dr. Theo Kobong, melalui tulisannya yang berjudul “Gereja Bukanlah Gedungnya, Gereja Adalah Orangnya” dalam buku “Kepemimpinan dan Pembinaan Warga Gereja. Ia secara jelas menguraikan bahwa gereja adalah orangnya.[2] Dari uraian terdahulu di atas kita sudah dapat memahami bahwa yang dimaksudkan pertama-tama  bukanlah gedungnya, melainkan gereja adalah orangnya. Kita juga sudah memahami bahwa tugas dasar yang diberikan Allah kepada kita adalah sama dengan tugas yang diberikan Allah kepada Abraham yaitu memeilihara kehidupan. Memelihara kehidupan seperti yang dimaksudkan Allah tidak mungkin dilakukan oleh gereja sebagai lembaga/institusi. Di dalam Alkitab, Allah tidak berbicara kepada lembaga/institusi, melainkan kepada manusia-manusia, walaupun Alkitab mempergunakan juga ilustrasi seperti bangunan (Ef. 2:21-22; 1 Petrus 2:5), tubuh (1 Kor. 12), kawanan domba (Yoh. 21:15-17; 1 Petr. 5:2). Namun jelas bahwa yang disapa melalui ilustrasi-ilustrasi (itu berarti ilustrasi di sini hanya diposisikan sebagai sarana komunikasi yang komunikatif) itu adalah manusia-manusia yang telah memberikan dirinya dirangkul oleh kasih Allah. Dengan demikian mau dikatakan bahwa masing-masing umat Allah disapa sebagai bagian dari satu bangunan, satu tubuh, satu kawanan domba, tetapi kepada masing-masing anggota telah diberikan karunia yang berbeda-beda. Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lain menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita (Roma 12:6). Setiap anggota mempunyai fungsinya masing-masing (1 Kor. 12). Di dalam 1 Kor. 12:21 dyb. Paulus mengatakan: mata tidak dapat berkata kepada tangan; aku tidak membutuhkan engkau. Dan kepala tidak dapat berkata kepada kaki, aku tidak membutuhkan engkau. Malahan justru anggota-anggota tubuh yang menurut pemandangan kita kurang terhormat, kita justru memberikan penghormatan khusus kepadanya. Demikian juga terhadap anggota-anggota tubuh kita yang tidak elok, kita berikan perhatian khusus kepadanya.
      Di tempat lain Paulus berkata bahwa kita adalah satu tubuh di dalam Kristus. Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lain menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita: jika karunia itu adalah untuk bernubuat, baiklah kita melakukannya sesuai dengan iman kita. Jika karunia untuk melayani, baiklah kita melayani, jika karunia untuk mengajar, baiklah kita mengajar, jika karunia untuk menasehati, baiklah kita menasehati. Karunia intelektual itu bermacam-macam, karunia seni mungkin lebih bervariasi lagi, demikian juga karunia keterampilan tidak kurang banyaknya. Singkatnya kehidupan ini mempunyai banyak segi yang sering kita tidak sadari, namun apabila kita yakin bahwa kehidupan ini adalah ciptaan pemberian Tuhan, maka kita harus pula sadari bahwa kehidupan ini adalah ciptaan dan pemberian Tuhan, maka sebaiknya kita sadar bahwa kehidupan seperti itulah yang harus kita pelihara dan kembangkan, masing-masing menurut talenta yang dipercayakan kepadanya.
      Dengan pemahaman di atas bahwa gereja/umat Allah dipanggil dan diberikan tugas memelihara kehidupan, maka jelas bahwa gereja hanya bisa memelihara kehidupan melalui anggota-anggotanya di setiap bidang kehidupan (artinya dalam multi kompetensi) sesuai dengan kehendak Allah. Dengan kesadaran demikian, maka gereja mau tidak mau mempunyai kewajiban untuk memperlengkapi anggota-anggotanya untuk memelihara kehidupan itu. Untuk itulah Yesus Kristus sendiri memberikan kepada gereja-Nya pejabat-pejabat/pelayan-pelayan khusus. Para pejabat dan pelayan tersebut adalah primer dan terutama untuk memperlengkapi warga gereja bagi suatu pekerjaan memelihara kehidupan yang mengacu kepada kerajaan Allah. Jadi yang diperlengkapi adalah orangnya dan bukan gedungnya atau organisasinya, atau kalau organisasinya dan gedungnya dibenahi, maka itu hanya untuk menunjang usaha mengfungsikan anggota-anggotanya secara efektif. Jadi sekali lagi, starting point, focusing point and finishing point adalah orangnya, bukan gedungnya. Di sinilah tampak secara jelas pentingnya PWG.

c.   Gereja Dalam Pemahaman Praktis
      Menurut Lawrence O. Richards, dalam bukunya A Theology of Christian Education, bahwa pemahaman mengenai hakikat, sifat dan tugas gereja yang kita anut, akan sangat mempengaruhi pola pikir kita sendiri terhadap tugas gereja dalam pendidikan atau pembinaan.[3] Dilandasi dengan pengertian ini, maka pemahaman yang jelas oleh umat, khususnya para “elite” gereja tentang gereja harus dirumuskan secara tepat dan disosialisasikan.   Menurut urgensinya, hal ini merupakan sesuatu yang tidak bisa lagi ditunda-tunda. Karena apabila tidak, akan terjadi penyalahgunaan dan atau pemanfaatan institusi gereja dengan label pelayanan demi mewujudkan ambisi pribadi, kerakusan dan kepentingan pribadi atau kelompok-kelompok tertentu. Dan kalau itu terjadi, akibatnya praktek dan perilaku sekuralisasi gereja terjadi. Gereja dapat menjadi arena perebutan kekuasaan, pengumpulan kekayaan, penerusan kerajaan, tempat perdagangan agama yang sangat populer, dll. Ada beberapa pemahaman praktis yang dapat dilekatkan pada gereja, seperti yang diuraikan berikut ini:
  • Gereja sebagai suatu organisasi
Organisasi gereja tidak diuraikan secara tegas di dalam Perjanjian Baru. Organisasi gereja disinggung hanya sedikit saja oleh Kristus dalam Matius 18, ketika Ia berbicara tentang pembuktian fakta mengenai suatu perselisihan melalui pemeriksaan bersama oleh jemaat. Ketika kekuasaan para rasul berlalu, tampaknya organisasi kolektif yang menggantikannya. Sebagai contoh, dalam Kisah Para Rasul 8 Petrus menentang Simon si tukang sihir berdasarkan kekuasaan sepihak. Beberapa tahun kemudian, Rasul Paulus menulis kepada jemaat di Korintus bahwa mereka mempunyai tanggung jawab bersama untuk menghakimi orang-orang jahat yang ada di tengah-tengah mereka (1 Kor. 5:13). Di dalam gereja mula-mula organisasi merupakan upaya menanggapi kebutuhan-kebutuhan dan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh gereja. Sebagai contoh yang paling jelas tentang pemilihan diaken dalam Kisah Para Rasul 6. Tetapi dalam perkembangannya lebih lanjut, tidak bisa dihindari bahwa gereja dalam perjalanan tugas dan tanggung jawab kesaksiannya menghadapi multi tugas   harus dikerjakannya, termasuk di dalamnya PWG. Hal inilah yang mendorong gereja untuk harus menjadi suatu organisasi yang mampu menerapkan elemen-elemen organisasi dan kepemimpinan secara benar dan relevan.
  • Gereja sebagai suatu organisme
Untuk memahami gereja sebagai suatu organisme, ada baiknya kita mengutip apa yang dikemukakan oleh William W. Menzies dalam bukunya “Doktrin Alkitab”. Ia berkata bahwa “gereja lebih dari sekedar organisasi; gereja adalah organisme yang hidup. Kepala Gereja adalah Yesus Kristus (Ef.1:22,23), yang memelihara gereja, serta memberikan nhidup rohani kepadanya. Akan tetapi, organisme yang hidup harus mempunyai struktur. Dalam dunia ini tidak ada yang lebih hebat organisasinya daripada sel hidup yang paling sederhana. Demikian pula, gereja adalah susunan bagian-bagian yang rapih dan tersusun, susunan yang ditemukan  bila menyelidiki pola gereja Rasuli. Struktur yang dinyatakan dalam Perjanjian Baru sangat sederhana, namun prinsipnya ialah bahwa hanya organisasi yang penting bagi kelangsungan kehidupan gereja harus dipakai.[4] Apa yang dikemukakan oleh Menzies di atas dapat kita mengambil suatu kesimpulan bahwa gereja memiliki dimensi illahi dan insani. Illahi karena lahir dari karya Roh Kudus dan insani karena membutuhkan penataan dari manusia dalam suatu realitasnya sebagai organisasi.

d.   Kedudukan dan Tugas Ganda Gereja
  • Kedudukan Gereja
Dalam rangka memahami kedudukan gereja, menarik apabila kita memperhatikan apa yang Homrighausen katakan tentang gereja. Ia mengatakan, kedudukan gereja  harus dilihat dari tiga aspek, yaitu: gereja adalah pemberian Allah, gereja adalah suatu organisasi di tengah-tengah masyarakat dan gereja merupakan suatu badan yang melakukan fungsinya yang istimewa di antara umat manusia.[5] Dari tiga aspek ini, khususnya aspek yang ketiga sangat terkait erat dengan tugas PWG. Disebutkan sebagai tugas istimewa oleh karena tugas PWG dimandatkan Allah bukan kepada lembaga-lembaga non-gereja, melainkan memang telah menjadi salah satu tugas khusus gereja. Gerejalah  yang harus bertanggung jawab terhadap segala jenis pendidikan/pembinaan iman warga gereja. Apabila gereja melalaikan tugas tersebut, maka ia telah melalaikan salah satu hakikat dirinya.

  • Tugas Ganda Gereja Dalam PWG
Tugas gereja harus dipahami, dibangun dan dikembangkan dalam suatu dimensi yang bersifat komprehensif.   Tugas Gereja bukan  hanya membimbing umat untuk beriman dan memiliki hubungan dengan Tuhan, melalui kegiatan-kegiatan pembinaan, seperti dalam bentuk khotbah-khotbah pada acara-acara kebaktian, pemasyuran Injil, pendalaman-pendalaman Alkitab, dan lain-lain, tetapi harus pula memperlengkapi dan mendorong umat berbuat sesuatu sesuai bidang kemampuannya, agar menjadi berkat dalam suatu kehidupan konkret terhadap sesamanya. Di sinilah tampak secara jelas pentingnya suatu proses pendidikan atau pembinaan yang bersifat holistic (artinya pendidikan yang menyentuh seluruh aspek hidup manusia, baik rohani maupun pengetahuan dan keterampilan umum) dalam suatu gereja. Dengan demikian tugas pencerdasan warga gereja adalah juga salah satu tugas pokok dari gereja itu sendiri. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Daniel Aleshire, ia mengatakan, salah satu (artinya  masih ada yang lain) maksud dari gereja adalah “the church must educate its members”.[6] Salah satu maksudnya adalah agar warga gereja menjadi warga yang terdidik sehingga memahami secara benar isi imannya (content of the faith), memahami secara benar apa yang benar dan salah, memahami dan mampu mengkomunikasikan imannya ke dalam kehidupan konkrit, memahami dan mampu melakukan sesuatu yang memberi makna bagi hidupnya dan hidup orang lain.
Penekanan utama dalam proses belajar yang dijalankan bagi warga gereja, hendaknya tidak merupakan suatu proses untuk memiliki sesuatu, melainkan lebih diarahkan sebagai suatu proses untuk menjadi sesuatu. Hal ini tidak dimaksudkan bahwa sertifikat yang kita dapatkan melalui suatu proses pendidikan tidak berarti apa-apa, sehingga sebaiknya dibuang saja.  Bukan itu yang dimaksud ! Sekali lagi, bukan. Tetapi adalah benar bahwa apalah artinya kita memiliki sejumlah sertifikat  yang kita dapatkan dari berbagai lembaga pendidikan, baik yang sifatnya formal maupun yang sifatnya non-formal, kalau ternyata hidup kita hidupi ini ternyata tidak berguna secara maksimal, baik untuk diri kita sendiri maupun terhadap sesama. Karena itu, hendak diberi penekanan sekali lagi bahwa yang jauh lebih terpenting adalah ketika hidup ini bisa menjadi sesuatu artinya bahwa melalui kehidupan kita ada suatu manfaat yang dirasakan, baik oleh diri kita maupun oleh sesama yang ada di sekitar kita.

e.   Gereja Sebagai Pengembang Strategi Pembinaan

Gereja yang dilukiskan sebagai tubuh Kristus merupakan suatu organisme Illahi yang terus menerus  berkembang. Suatu organisme tidak pernah berhenti dalam perkembangannya, karena perkembangan adalah tanda-tanda adanya suatu kehidupan dalam organisme tersebut. Organisme yang bertumbuh itu perlu diatur dan ditata pertumbuhannya (perkembangannya) agar ia bertumbuh atau berkembang secara sehat sesuai dengan yang diharapkan. Gereja, selain sebagai organisme, ia juga merupakan suatu organisasi yang dalam melaksanakan tugasnya harus tertata rapih secara terstruktur sehingga tercapai pencapaian hasil yang maksimal.
Setiap organisasi apapun; organisasi pemerintahan, organisasi politik, organisasi kemsyarakatan (termasuk di dalamnya organisasi gereja), organisasi bisnis, dll. di dunia ini pasti bekerja dengan menggunakan pola strategi. Karena keberhasilan suatu organisasi, sangat ditentukan pula oleh jenis strategi yang digunakan. Berkenaan dengan tugas gereja sebagai pengembang strategi pembinaan, maka ada beberapa hal terkait yang perlu dipaparkan sebagai berikut: 

1.   Menetapkan Profil Warga Gereja Yang Diharapkan     
Ketika kita hendak melakukan suatu pembinaan terhadap warga gereja; pertama-tama kita harus memunculkan pertanyaan tentang profil warga jemaat yang bagaimana, yang diharapkan ? Karena dengan adanya pertanyaan seperti ini, maka akan menjadi dasar dan sekaligus pemberi arah dalam keseluruhan pengembangan strategi pembinaan yang akan dilakukan. Contoh, profil warga jemaat yang diharapkan oleh Gereja Bethel Indonesia “adalah mempersiapkan warga jemaat yang seperti Kristus” (ini hanya sebagai salah satu contoh saja).
Setelah profil hasil pembinaan ditetapkan, maka pertanyaan berikutnya adalah kebutuhannya apa ? Pada saat kita berbicara tentang kebutuhan, maka ada beberapa factor yang harus menjadi perhatian khusus, yaitu: analisis kebutuhan, model-model analisis kebutuhan dan strategi-strategi analisis kebutuhan. Untuk ketiga aspek ini, saya akan mengutip apa yang dikemukakan oleh Pdt. Japarlin Marbun,  dalam tulisannya yang berjudul “Gembala Jemaat Sebagai Pengembang Program Gereja” dalam buku  “Gnosis“; Merajut Pemahaman Transformasi Gereja dan Pergumulan Teologi Kekinian”, sebuah jurnal teologi yang diterbitkan oleh BPD GBI DKI Jakarta. Dalam tulisannya, beliau menekankan tiga aspek dengan mendasarkan paparannya, seperti pada apa yang telah dikemukakan oleh Kaufman, Briggs., Lesle., J.Walter., W.Wagner dan Alisson Rosset.  Ia menjelaskan tiga aspek sebagai berikut.[7]

·         Analisis Kebutuhan
Dari sekian banyak kebutuhan yang mungkin dirasakan oleh seseorang, maka tidak semuanya kebutuhan itu dapat dipenuhi pada suatu saat. Oleh karena itu diperlukan adanya usaha untuk mengidentifikasi serta menentukan skala prioritas mana yang lebih dahulu dari kebutuhan-kebutuhan tersebut yang didahulukan. Kesenjangan yang dibutuhkan pemecahannya itulah yang disebut masalah atau kekurangan dari yang seharusnya ada dengan yang ada pada saat tertentu. Dengan demikian, maka kesenjangan yang dibutuhkan pemecahannya disebut masalah. Salah satu contoh masalah, kalau kita mengacu pada para profil warga jemaat yang diharapkan dari GBI, yaitu “mempersiapkan warga jemaat yang seperti Kristus”, maka masalahnya adalah seperti apa performance warga jemaat yang seperti Kristus ? Apa indikasinya ?.
Menurut Kaufman, masalah adalah tidak lain dari “selected gap” atau kesenjangan yang diprioritaskan pemecahannya berdasarkan kepentingannya. Usaha untuk mengidetifikasi, mengukur kebutuhan dan menentukan prioritas pemecahannya dikenal dengan istilah “need assessment” atau “discrepancy analysis” atau analisis kebutuhan. Menurut Knirk & Pinola, analisis kebutuhan adalah proses yang sistematis untuk membandingkan apa yang telah ada dengan apa yang seharusnya. Sementara Alisson Rosset, menjelaskan bahwa analisis kebutuhan adalah suatu kegiatan atau proses di mana seseorang melakukan identifikasi atau mencari informasi  tentang kebutuhan-kebutuhan dan menentukan cara yang paling tepat untuk menyelesaikannya. Dari beberapa pendapat di atas jelaslah bahwa: analisis kebutuhan adalah proses menentukan jarak atau kesenjangan antara hasil yang dicapai sekarang dengan hasil yang sesungguhnya diinginkan/dikehendaki serta menetapkan kesenjangan tersebut dalam urutan skala prioritas. Jadi hasil akhir dari analisis kebutuhan adalah ditemukannya sejumlah kesenjangan antara kondisi yang ada dengan kondisi yang seharusnya ada serta skala prioritas pemecahan berdasarkan tingkat urgensinya.

·         Model-model Analisis Kebutuhan
Menurut Kaufman, model-model analisis kebutuhan dapat diklasifikasi sebagai berikut: 
a.   Model Alpha
Analisis kebutuhan model alpha mendasarkan analisisnya dari bawah, yaitu penekanannya pada identifikasi masalah berdasarkan pada tataran kebutuhan. Model ini sangat cocok untuk perumusan dan pelaksanaan kebijakan.
b.   Model Beta
Analisis kebutuhan model beta memberikan penekanan pada fungsi kedua yaitu penentuan syarat pemecahan dan pengidentifikasian alternative pemecahan masalah. Jadi model kedua ini lebih banyak berhubungan dengan organisasi yang berinisiatif  mengadakan analisis kebutuhan.
c.   Model Gamma
Analisis kebutuhan model gamma dilaksanakan dengan meminta kesediaan orang-orang untuk menyusun urutan/menyeleksi tujuan umum dan tujuan khusus yang ada agar ditemukan suatu daftar tujuan yang disusun berurutan. Kemudian dipilih strategi-strategi pemecahan di antara strategi-strategi yang telah ditentukan.
d.   Model Delta
Analisis kebutuhan model delta dipergunakan untuk menentukan/ memutuskan apa yang akan dilakukan dan bagaimana cara melakukannya. Jadi pada tahap ini metode diimplementasikan dengan peralatan yang telah diseleksi, dengan kata lain tahap ini adalah tahap pelaksanaan di lapangan dan manajemen penyelesaian tugas.
e.   Model Epsilon
Model ini berhubungan dengan penentuan sejauhmana hasil yang diinginkan telah dicapai. Dalam hal ini, suatu yang telah direncanakan, dikembangkan dan digunakan dalam strategi operasional dinilai apakah dapat bekerja atau tidak. Dalam tahap ini efektifitas dari metode dan peralatan dapat ditentukan sehingga tahap ini sering juga disebut sebagai evaluasi sumatif dari analisis kebutuhan.
f.    Model Zeta
Model zeta adalah model yang dapat dipergunakan untuk mengadakan pembaharuan atau perubahan system yang bersifat konstan dan berkesinambungan sehingga dimungkinkan adanya revisi apabila diperlukan.

·         Strategi-strategi Analisis Kebutuhan
Strategis analisis kebutuhan dapat dihubungkan dengan pencarian pemecahan dalam berbagai bidang yang dianggap memerlukan pemecahan terhadap sesuatu kebutuhan. Dan jika analisis kebutuhan dihubungkan dengan kegiatan pendidikan dan latihan, maka menurut Kaufman, dapat diidentifikasi tiga strategi analisis kebutuhan, yaitu:
    1. Strategi Klasik
Strategi klasik dimulai dari penentuan tujuan yang sifatnya umum (generic), kemudian dilanjutkan dengan pengembangan dan selanjutnya diadakan evaluasi program. Strategi ini dilakukan oleh pengembang program pendidikan dan latihan.
    1. Strategi Induktif
Strategi induktif adalah proses induksi yang bertolak dari pendapat patner dan data empiric dari lapangan kemudian berdasarkan data tersebut dirumuskan tujuan umum yang diinginkan. Selanjutnya diukur jarak antara tujuan umum dengan data yang didapat dari lapangan.
    1. Strategi Deduktif
Strategi deduktif bertolak dari perumusan tujuan umum yang diinginkan dilanjutkan dengan pengumpulan data dari lapangan. Selanjutnya diukur perbedaan antara tujuan umum dengan data yang ada di lapangan. Dengan demikian analisis kebutuhan yang berdasarkan strategi deduktif dapat dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
·         Pertama, dilakukan identifikasi tujuan-tujuan yang mungkin dapat dicapai. Artinya dalam tahap ini akan didaftar semua tujuan yang mungkin dicapai tanpa mempertimbangkan urgensinya. Tujuan-tujuan tersebut dirumuskan secara operasional disertai dengan criteria performance.
·         Kedua, disusun tujuan-tujuan berdasarkan skala prioritas. Tujuan dari kegiatan ini adalah menyusun/mengurutkan tujuan-tujuan yang telah diidentifikasikan berdasarkan kepentingannya, sehingga akan kelihatan urutan dari tujuan yang terpenting sampai kepada tujuan yang kurang penting.
·         Ketiga, mengidentifikasi kesenjangan antara performance yang ada dengan performance yang diharapkan. Kegiatan pertama dalam tahap ini ialah mendeskripkan tingkat performance dari objek system yang ada, selanjutnya dibandingkan dengan performance sebagaimana disyaratkan dalam tujuan.
Untuk lebih jelasnya, Kaufman mengidentifikasi sembilan langkah yang perlu ditempuh dalam mengukur kebutuhan sebagai berikut:
·         Pertama, menyusun rencana
·         Kedua, mengidentifikasi gejala masalah berdasarkan permintaan dari lembaga pendidikan dan latihan untuk mengadakan pengukuran kebutuhan.
·         Ketiga, menentukan ruang lingkup
·         Keempat, mengidentifikasi peralatan dan prosedur penilaian kebutuhan, selanjutnya memilih yang terbaik bekerja sama dengan patner dalam melakukan perencanaan.
·         Kelima, merumuskan keadaan yang ada sekarang dalam bentuk perumusan performance yang spesifik dan dapat diukur.
·         Keenam, Merumuskan kondisi yang diharapkan dalam rumusan yang spesifik dan dapat diukur.
·         Ketujuh, mempertemukan perbedaan pendapat yang ada antara patner dengan peneliti dalam mengidentifikasi tujuan sehingga diperoleh kesepakatan antara peserta pelatihan, pengguna lulusan dan pengembang program pelatihan.
·         Kedelapan, mengurutkan kebutuhan-kebutuhan tersebut menurut skala prioritas dan menurut urgensinya.
·         Kesembilan, merumuskan penilaian kebutuhan serupa agar tetap “up to date”.
Kesembilan langkah ini masih dapat disesuaikan dengan keperluan, ataupun tergantung pada siapa yang melakukan perencanaan, di mana perencanaan itu dilaksanakan dan pertimbangan-pertimbangan lainnya.

2.   Menetapkan PWG Sebagai Tugas Primer Gereja

PWG merupakan suatu usaha gereja secara sengaja untuk membimbing setiap warga gereja; khususnya yang sudah dewasa agar  bertumbuh ke arah kedewasaan penuh di dalam Kristus. Dengan pertolongan dan bimbingan Roh Kudus serta dengan tuntunan firman-Nya, warga jemaat dimampukan secara maksimal dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai mediator berkat bagi dunia ini. Hal ini dimungkinkan, hanya apabila PWG dilaksanakan secara baik dan bersinambung oleh gereja terhadap warganya.
Dilandasi dengan pemahaman di atas, maka dapat disimpulkan bahwa PWG adalah salah satu tugas sentral dari gereja. Dengan demikian, apabila gereja melalaikan tugas pelaksanaan PWG, maka ia dapat dikatakan telah melalaikan salah satu hakikat dirinya. Di sinilah tampak semakin jelas bahwa PWG haruslah menjadi tugas primer gereja dan bukan merupakan tugas sekunder.
Sayang sekali bahwa ternyata masih banyak diantara gereja Tuhan di Indonesia belum memposisikan PWG sebagai bagian dari tugas primer gereja. Bukan bermasud bahwa tidak penting; bahwa gereja dalam realitas kehidupan dan pelayanannya masih lebih cenderung “concern” terhadap pelaksanaan ibadah-ibadah raya dalam bentuk KKR di gedung-gedung besar, di lapangan-lapangan terbuka, dll.,jika dibandingkan dengan pembinaan-pembinaan warga dalam bentuk kelompok yang lebih kecil. Namun yang menjadi masalah adalah bahwa kegiatan-kegiatan seperti KKR cenderung lebih bersifat umum, dasar dan tidak focus. Untuk sebagai starting point bagi pemenangan jiwa-jiwa baru bagi Kristus, pendekatan ini bisa sangat efektif, tetapi untuk pembinaan warga, agar menjadi bertumbuh khususnya dalam kualitas iman, maka pendekatan yang paling memadai adalah PWG dalam bentuk kelompok-kelompok yang lebih kecil.  Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum yang terstruktur dan disesuaikan dengan jenis serta tingkat kebutuhan warga (peserta didik).
     
      3.   Melakukan “Training for the Trainers”.

Di baris terdepan setiap pelayanan Kristen selalu dibutuhkan orang-orang yang benar-benar terlatih, orang-orang yang memiliki komitmen yang jelas terhadap Pribadi Kristus, orang-orang yang tahu bagaimana cara mengembangkan pekerjaan Kristus di atas muka bumi ini; khususnya dalam suatu situasi khusus seperti pada masa kini yang kita kenal sebagai abad kejayaan teknologi, yang sarat dengan berbagai tantangannya.
Dilandasi dengan pemahaman di atas dan untuk mewujudkan kerinduan kita terhadap pentingnya dilaksanakan “training for the trainers”, maka ada baiknya kita munculkan tiga pertanyaan seperti : mengapa harus memilih dan melatih orang-orang, bagaimana memilih dan melatih orang-orang, siapa yang harus dipilih dan dilatih ?
·         Mengapa harus memilih dan melatih orang ?
Pertanyaan ini dapat saja dijawab dengan sebanyak mungkin jawaban, akan tetapi saya hanya memberikan dua alasan sebagai jawaban terhadap pertanyaan di atas, yakni: Pertama, kita memerlukan orang-orang yang mampu. Seringkali di dalam suatu gereja, ketika menyusun dan menetapkan para tenaga pelayan yang nantinya ditugasi untuk melakukan serangkaian tugas pelayanan seperti penjangkauan jiwa-jiwa yang belum terselamatkan untuk dibawa kepada Kristus; tampaknya belum melalui suatu mekanisme yang normal, artinya masih terkesan “asal pilih”, “asal ada”, dsb. Akibatnya, hasil pelayanannya sangat buruk bahkan menimbulkan frustrasi baru, baik bagi gereja (tenaga penjangkau) maupun juga bagi orang-orang yang mau dijangkau tersebut.  Bila itu memang kenyataannya, maka tampaklah di sini pentingnya suatu proses memilih seseorang dan menetapkannya untuk suatu tugas pelayanan di dalam suatu gereja berdasarkan prinsip “orang yang tepat untuk suatu pekerjaan yang tepat”. Artinya bahwa diperlukan suatu kejelihan memilih orang, di samping  berdasarkan kemampuannya tetapi juga perlu diikuti dengan pelatihan-pelatihan terstruktur (sesuai dengan jenis kebutuhan dan tugas yang akan dimandatkan oleh gereja kepadanya) dalam rangka mempertajam ketrampilannya guna melaksanakan tugas pelayanan yang dipercayakan kepadanya. Kedua, tuntutan beban tugas pelayanan dan kesinambungannya. Tanpa suatu proses pemilihan dan pelatihan yang berkesinambungan di dalam Tubuh Kristus, maka saya memprediksi bahwa   para pemimpin Kristen yang jumlahnya sangat sedikit akan kelebihan beban pekerjaan, sehingga pada akhirnya mereka akan kehabisan tenaga. Salah satu contoh yang menarik dalam Alkitab, untuk contoh kasus adalah Musa. Ia sedang berada pada titik kelelahan jasmani, emosi dan rohani pada saat ia berusaha mengurus sekitar dua juta orang atau lebih yang keluar dari Mesir. Tetapi kemudian, Yitro, ayah mertuanya yang bijaksana, memperhatikan apa yang sedang terjadi dan mengingatkan Musa bahwa ia sedang menyiksa dirinya sendiri jika ia tidak mulai mengadakan proses pemilihan dan pendelegasian tugas (bnd. Kel. 18:13-18). Dengan demikian dapat juga dipahami bahwa proses pemilihan dan pelatihan orang-orang dalam suatu organisasi (termasuk organisasi gereja), terkait erat dengan pendelegasian tugas, agar tugas organisasi ke depan berjalan lebih signifikan. Contoh, ketika Musa meninggal dunia, bangsa Israel tidak menghadapi masalah kepemimpinan oleh karena Musa telah melatih dengan sungguh-sungguh orang yang akan menggantikannya, yaitu, Yosua (bnd. Yosua 11:15).
·         Bagaimana memilih dan melatih orang?
Mengacu pada pertanyaan bagaimana memilih dan melatih seseorang, bukanlah sesuatu yang gampang dijawab. Karena itu, ada empat hal penting yang perlu diperhatikan. Pertama, lakukan pengamatan secara dekat dan cermat. Kedua, adakan pra-pelatihan kepada orang-orang yang dipilih (bnd. Markus 3:14; suatu strategi yang digunakan oleh Yesus Kristus dan itu sangat efektif). Ketiga, sikap doa (bnd. Lukas 6:12-16). Dalam proses pemilihan, pengamatan terhadap orang-orang dan latihan yang tepat sangatlah penting. Walaupun demikian, hal-hal tersebut tidak dapat menggantikan fungsi doa di mana mencari Allah untuk memilih orang-orang yang telah ditetapkan-Nya.
Meskipun Yesus telah mengenal murid-murid yang telah mengikutiNya dan yang berada dekat dengan-Nya selama kurang lebih satu tahun, Ia tidak menggantungkan diri pada kemampuan-Nya sendiri dalam menentukan pilihan. Ia meluangkan waktu semalam-malaman untuk berdoa kepada Allah, sehubungan dengan pemilihan yang akan dilakukan-Nya. Yesus menyadari betapa pentingnya proses pemilihan ini. Di atas bahu merekalah terletak seluruh masa depan gereja. Oleh karena itu, Yesus tidak sembarangan dalam memilih, melainkan dengan penuh kesungguhan dan doa.
Dan terbukti bahwa Allah sungguh-sungguh menjawab doa-Nya. Alkitab mencatat keyakinan Yesus yang dalam, yaitu bahwa murid-murid-Nya adalah orang-orang yang telah diberikan oleh Allah kepada-Nya. Yesus sangat menyadari bahwa orang-orang ini adalah hamba-hamba Allah yang dipercayakan kepada-Nya (bnd. Yohanes 17:6-9). Keempat, sesuai dengan karunia. Alkitab menyebutkan dengan jelas bahwa bagi setiap anak Allah, Roh Kudus telah memberikan satu atau beberapa karunia rohani (bnd. 1 Kor. 12:7). Karunia-karunia ini diberikan dengan tujuan untuk membangun segenap Tubuh Kristus. Jika setiap orang menggunakan karunianya masing-masing serta melatih orang-orang lain sesuai dengan karunianya itu, maka Tubuh Kristus akan dibangun dan orang-orang percaya diperlengkapi untuk melayani (bnd. Efesus 4:11-12).

·         Siapa yang dipilih dan dilatih ?
Yitro sangat bijaksana ketika ia menasihatkan Musa tentang siapa yang harus dipilih untuk menolong Musa dalam kepemimpinannya. Yitro menyadari bahwa jika ia memilih orang-orang yang keliru, maka hasilnya akan lebih buruk daripada sama sekali tidak ada orang yang membantu (bnd. Kel. 18:21). Ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian kita dalam rangka menetapkan siapa yang akan dipilih dan dilatih, yakni: Pertama, berkaca kepada teladan Musa (syaratnya: cakap, jujur, takut akan Allah, tidak dapat disuap=Kel. 18:21), Paulus (2 Tim. 2:2) dan Para Rasul (Kisah Rasul 6:2-3). Kedua, setia. Kesetiaan adalah suatu sifat yang jarang ditemukan dan yang semakin sukar untuk didapat pada abad eksistensial sekarang ini, karena banyak orang tidak memiliki rasa tanggung jawab (bnd. Amsal 20:6). Ketiga, bersedia. Banyak orang yang mempunyai potensi besar untuk memimpin dan memuridkan namun mengurangi potensi yang ada di dalam diri mereka oleh karena mereka tidak turut ambil bagian dalam mewujudkan kepemimpinan serta pemuridan. Penyebabnya adalah karena tidak adanya kesediaan. Mereka gagal untuk hidup sesuai dengan prioritas-prioritasnya dan mendapati bahwa “benteng keterdesakan” memaksa mereka semakin jauh dari sasaran-sasaran serta nilai-nilai yang kekal. Keempat, senang diajar. Sifat penting lainnya yang perlu dicari dalam proses pemilihan adalah sifat senang diajar. Jika seseorang tidak terbuka dan tidak rela untuk belajar maka ia tidak akan pernah dapat melayani atau memimpin secara harmonis dalam Tubuh Kristus. Seorang yang tidak senang diajar lama kelamaan akan menjadi orang yang tidak bergairah  dan statis-ia hanya berada dalam pola-pola yang kaku, yang menghapuskan keefektifannya.
Salah satu alasan mengapa Allah tidak bekerja melalui orang-orang Farisi adalah karena mereka mempunyai sikap yang tidak senang diajar. Mereka mengira bahwa mereka sudah tahu tentang segala hal. Walaupun mereka adalah orang-orang yang super setia dan bersedia dalam mentaati hukum Taurat, namun mereka memiliki sikap tidak senang diajar terhadap Perjanjian Kristus yang Baru, dan oleh karena itu, maka Yesus harus melewatkan mereka pada saat Ia memilih orang-orang.
Tidak peduli berapa banyak pengetahuan seseorang, ia harus menyadari bahwa masih ada begitu banyak hal yang harus dipelajari dari Allah kita yang tidak terbatas itu. Jika kita senantiasa terbuka untuk diajar tentang hal-hal yang baru dari Dia, kita akan mendapati bahwa kita memiliki kapasitas yang semakin meningkat untuk mengatasi berbagai situasi dalam kehidupan. Kelima, lahir baru (hal ini sangat penting dan menentukan). Bertumbuh di dalam Kristus serta memiliki keintiman (hubungan special) dengan-Nya. Mampu secara konsisten memperlihatkan buah-buah Roh Kudus di dalam keseluruhan penampilan hidup kesehariannya, sebagaimana yang disebutkan dalam Galatia 5:22-23.

      4.   Menunjuk dan Menetapkan Tim (Panitia) Khusus PWG
            Alan Brache, berkata “hanya sedikit manajer yang memiliki pendekatan sistematis
untuk memaksimalkan produktivitas tenaga kerja”. Statement ini menunjukkan betapa pentingnya  tenaga pelayan dan atau warga jemaat yang terlibat dalam suatu proses tugas pelayanan, ditingkatkan kemampuan dan keterampilannya. Namun dalam usaha tersebut perlu ditempuh langkah-langkah yang sistematis agar pencapaian hasilnya maksimal. Proses langkah awal yang perlu dikerjakan adalah penunjukan dan penetapan team (panitia) khusus pelaksana program PWG. Hal-hal yang perlu menjadi perhatian utama dari proses awal ini adalah orang-orang yang direkrut haruslah terdiri dari orang-orang yang memang memiliki kemampaun dan keahlian di bidangnya sesuai dengan kebutuhan program yang akan dikerjakan.
Team khusus inilah yang akan memikirkan dan mempersiapkan seluruh kebutuhan PWG (khususnya juga kebutuhan financial) dan teknis pelaksanaannya dalam suatu gereja lokal ataupun pada tingkat sinodal. Seperti yang telah disinggung di atas, maka orang-orangnya adalah yang memang memiliki kemampuan dan keterampilan yang lebih.

5.   Menyusun Kurikulum Berbasis Kebutuhan
Disain kurikulum harus didasarkan pada kebutuhan dan profil warga jemaat yang diharapkan setelah mengikuti PWG. Karena itu yang harus dikerjakan terlebih dahulu di sini adalah menetapkan indicator profil warga jemaat yang diharapkan, kemudian identifikasi kebutuhan serta metodologi apa saja yang diperlukan dan dapat digunakan dalam rangka pencapaian profil tersebut tadi. Langkah-langkah praktisnya adalah diperlukan data dan pengenalan lapangan layanan. Kalau hal itu sudah dikerjakan, maka kurikulum sudah dapat disusun.

6.   Sosialisasi Program
      Sebelum program disosialisasikan, terlebih dahulu harus mendapat persetujuan formal dari pimpinan (gembala sidang), agar proses sosialisasinya tersambut oleh warga jemaat. Mekanisme sosialisasinya  adalah : melalui pengumuman resmi di gereja (sebaiknya oleh pimpinan/sedapat mungkin gembala siding), dimuat di dalam warta jemaat, dan atau dapat juga dimuat di majalah-majalah gereja.

7.   Penyediaan Sarana Pendukung
      Yang dimaksud dengan sarana pendukung di sini adalah tempat (fasilitas) pelaksanaan PWG yang berupa gedung, ruang belajar dan seluruh perlengkapan belajarnya. Di samping itu, yang tidak kalah pentingnya adalah tersedianya buku-buku sumber.



[1] French L. Arrington, Christian Doctrine; A Pentacostal Perspective, Volume three, (Tennessee: Pathway Press), 165

[2] Sularso Sopater, ed., Seri Membangun Bangsa; Kepemimpinan dan Pembinaan Warga Gereja (Jakarta: Sinar Harapan, 1998), 71-73
[3] Lawrence O. Richards, A Theology of Christian Education (Grands Rapid: Zondervan Publishing House, 1975), 120.
[4] William W. Menzies dan Stanley M. Horton, Doktrin Alkitab (Malang: Gandum Mas, 1998), 177.
[5] E.G. Homrighausen, Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 53.

[6] Bruce P. Powers, ed., Christian Education Handbook; Resources for Church Leaders (Nashville: Broadman Press, 1981), 32.
[7] M. Ferry H. Kakiay, ed., Gnosis; Merajut Pemahaman Transformasi Gereja dan Pergumulan Teologi Kekinian (Jakarta: BPD GBI DKI, 2003). Japarlin Marbun, dalam judul tulisannya: Gembala Jemaat Sebagai Pengembang Jemaat, hal. 90-95.