Oleh: Dr.
Yakub B. Susabda
Apa tujuan dari pernikahan dan
keluarga Kristen? Untuk maksud apa orang Kristen menikah dan berkeluarga?
Pertanyaan yang sering kita dengar ini sudah coba dijawab, baik melalui
konseling pranikah, ceramah-ceramah, maupun seminar-seminar. Bahkan hampir
setiap buku tentang pernikahan dan keluarga Kristen selalu dimulai dengan
membahas pertanyaan ini. Meskipun demikian selalu saja pertanyaan ini
ditanyakan. Rupanya keragu-raguan tak dapat disingkirkan dari dalam hati banyak
orang karena mungkin realitanya mereka sendiri menjalani kehidupan pernikahan
dan keluarga yang sekali-kali tidak berbeda dari orang-orang non-Kristen. Yaitu
kehidupan pernikahan dan keluarga "yang alami/natural" di mana orang
bertemu, saling mencinta, membuat tekad bersama, meresmikan ikatan mereka,
hidup bersama, bekerja mengumpulkan uang dan harta benda (untuk dinikmati
bersama sampai hari tua), melahirkan anak-anak, mendidik, membesarkan, dan
mempersiapkan mereka untuk kehidupan yang mandiri dan bahagia. Yah suatu
kehidupan dengan tujuan kebahagiaan.
Inilah tujuan dari pernikahan dan
keluarga "yang alami" yang memang secara praktis sudah coba dijalani
oleh hampir setiap orang, termasuk umat Kristiani. Tidak heran jikalau
pergumulan mereka dalam pernikahan dan keluarga seringkali hanyalah untuk
mengatasi dan menyelesaikan hambatan-hambatan dalam proses pernikahan dan
keluarga mereka yang *KOSONG* untuk membentuk pernikahan dan membangun keluarga
yang bahagia adalah suatu kesia-siaan jikalau itu semata- mata manifestasi
proses alami, tanpa tujuan seperti yang telah ditetapkan oleh Allah.
Pernikahan dan keluarga Kristen
mempunyai tujuan yang jelas karena memang untuk maksud itulah Allah menciptakan
lembaga pernikahan. Bahkan Allah menetapkan bahwa lembaga pernikahan dan
keluarga menjadi pusat kehidupan manusia seutuhnya, karena:
- Melalui pernikahan dan keluarga Kristen manusia dipersiapkan untuk betul-betul menjadi manusia yang seutuhnya. Sangat mengherankan, bahwa bukan gereja dan bukan pula sekolah yang ditetapkan Allah untuk membentuk manusia menjadi manusia seutuhnya, tetapi keluarga. Melalui keluarga:
- Manusia belajar mengembangkan pattern/pola kerja dari jiwa yang cocok untuk memahami kasih Allah yang unconditional (kasih yang tak bersyarat).
Alkitab
menyaksikan bahwa Allah yang sejati adalah Allah yang kasih-Nya unconditional.
Artinyam Ia adalah Allah yang mengasihi manusia bukan oleh karena kondisi
manusia yang sudah pantas untuk dikasihi. Alkitab bahkan menyaksikan bahwa
"....waktu kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita orang-orang
berdosa" (Roma 5:6). Artinya sementara manusia masih dan sedang berkanjang
dalam dosa dan melawan Allah, Allah mengutus Putra-Nya yang Tunggal untuk mati
bagi mereka dan menebus dosa mereka. Kasih Allah adalah kasih yang
unconditional.
Coba
bayangkan, apa yang terjadi dan bagaimana manusia dapat "mengenal dan
menghayati" kasih Allah tersebut, jikalau mereka lahir dibesarkan dalam
keluarga di mana jiwa mereka cuma terlatih untuk mengerti kasih yang
conditional, kasih yang bersyarat. Banyak anak, termasuk anak-anak dalam
keluarga Kristen yang hanya merasakan kasih orangtua pada saat mereka *KOSONG*
orang-tua berubah dan kasihnya tak dapat dirasakan lagi. Pada saat-saat seperti
itu, disiplin menjadi punishment, dan nafsu kemarahan hanya mengkomunikasikan
hukuman, kebencian, dan penolakan saja. Meskipun mungkin setelah itu disesali,
tetap pattern/pola jiwa yang hanya mampu berkomunikasi dengan kasih yang
conditional-lah yang telah terbentuk. Pattern/pola jiwa ini akan terbawa
sepanjang umur hidup mereka. Sehingga pemahaman cognitif rasionil bahwa kasih
Allah adalah kasih yang unconditional, tidak pernah dapat benar-benar diterima
dan dihayati oleh jiwa mereka. Mungkin mereka sudah dilahirkan baru dan
diselamatkan, tetapi sulit bagi mereka untuk tumbuh secara rohani karena jiwa
mereka terjerat pada pattern/pola yang hanya bisa berkomunikasi dengan kasih
yang conditional saja.
- Manusia belajar mengembangkan pattern/pola kerja jiwa yang cocok untuk memahami kehendak Allah yang predictable (yang dapat diduga).
Alkitab
juga menyaksikan bahwa Allah yang hidup adalah Allah yang berkehendak dan
kehendak-Nya predictable. Ia bukan Allah yang firman- Nya tersembunyi, atau
terlalu sulit untuk difahami. Ia adalah Allah yang firman-Nya dianugerahkan
begitu dekat, bahkan menyatu dengan hati, mulut dan bibir anak-anak-Nya
(Ulangan 30:11- 14, 4:7-8). Orang percaya disebut sebagai sahabat-sahabat-Nya
(bukan hamba-hamba) karena "segala sesuatu yang diketahui Allah, yang
perlu untuk keselamatan dan kehidupan dalam kebenaran" sudah diberikan
kepada mereka (Yohanes 15:14-15). Allah adalah Allah yang firman-Nya
predictable.
Celakanya
manusia selalu terjebak dalam keinginantahuan atas hal-hal yang sekunder, yang
Allahpun sebenarnya tidak selalu menetapkan sama seperti Ia telah menetapkan
kehendak-Nya dalam keselamatan dan kehidupan dalam kebenaran-Nya. Dalam hal-hal
sekunder inilah manusia terjebak pada kehendak Allah yang seolah-olah
unpredictable (yang tak dapat diduga). Padahal yang terjadi seringkali adalah
manusia menghadapi dengan realita dari buah interaksi antara dirinya yang
berdosa dengan hukum alam (natural laws) yang diciptakan Allah. Soal sakit dan
kesembuhan, hal menanamkan modal, keuntungan atau kerugian dalam usaha, tujuan
dan cita-cita pribadi, pergaulan dan hal memilih jodoh, studi, karir, adalah
hal-hal yang sekunder, yang bobot kepentingannya tidak sama dengan kepentingan
dari keselamatan dan kehidupan dalam kebenaran. Dalam hal-hal inilah kehendak
Allah seolah-olah dirasakan unpredictable, karena pada akhirnya setiap manusia
harus bertanggung-jawab sesuai dengan pertanggung-jawaban, kebebasan dan level
kematangan pribadinya.
Kembali ke
persoalan semula, kita percaya bahwa dalam keluarga Kristen manusia ditetapkan
untuk mengembangkan pattern/pola kerja jiwa yang cocok untuk memahami kehendak
Allah yang predictable. Kehendak Allah dalam konteks keselamatan dan kehidupann
dalam kebenaran-Nya adalah kehendak Allah yang predictable. Dan hal yang
menghayati realita *KOSONG* Oleh sebab itu, masalah ini menjadi masalah yang
krusial pada saat kita menemukan betapa banyaknya orang Kristen yang dilahirkan
dan dibesarkan dalam keluarga di mana pattern/pola jiwa yang cocok untuk ini
tidak pernah dikembangkan. Banyak anak-anak keluarga Kristen yang pengalaman
dengan orangtuanya justru mengembangkan pola jiwa yang cuma cocok untuk
berhubungan dengan kehendak yang unpredictable. Misalnya, pada saat senang
orang-tua begitu permisif mengijinkan anak untuk nonton TV sampai larut malam.
Tetapi hari berikutnya, pada saat hatinya kurang senang, orang-tua melarang dan
dengan sikap yang sangat tidak bersahabat memarahi anak-anak ketika mereka
duduk nonton TV di sore hari. Sikap unpredictable ini bukan hanya menghancurkan
pembentukan konsep tentang nilai (mana yang baik dan mana yang tidak baik),
tetapi yang lebih serius, ini akan menutup kemungkinan bagi jiwa mereka
menghayati kebenaran Alkitab bahwa kehendak Allah betul-betul sudah disediakan
dan predictable.
- Manusia belajar untuk mengembangkan jiwa yang dapat mempercayai sesamanya.
Jiwa yang
dapat mempercayai (trusting) adalah jiwa manusia sebagai makhluk sosial. Tanpa
jiwa yang dapat mempercayai, manusia sulit bergaul dan bekerja sama dengan
sesamanya dan tidak mampu membangun kehidupan bermasyarakat. Manusia menjadi
anti-sosial dan hidup dalam dunianya sendiri. Bahkan manusia hidup dengan
hukum- hukum yang diciptakan dan dianutnya sendiri. Ia menjadi manusia egoistik
dan tidak berperasaan. Dengan kata lain, manusia kehilangan keutuhannya sebagai
manusia, jikalau ia tidak mempunyai jiwa yang dapat mempercayai sesamanya.
Jiwa yang
"dapat mempercayai sesamanya" ini biasanya terbentuk dan berkembang
pada masa kecil, sejak lahir sampai kira-kira berusia 2 th. Pembentukan dan
perkembangannya hanya terjadi dalam konteks keluarga yang hangat yang mengenal
dan mempraktekkan cinta kasih secara konsisten. Tanpa cinta kasih dari
orang-tua (terutama ibu) perkembangan jiwa anak akan terhambat dan anak tidak
lagi mempunyai kemampuan untuk dapat mempercayai sesamanya. Betapa besarnya
peran keluarga dalam pembentukan manusia yang seutuhnya.
- Manusia belajar mengembangkan jiwa yang dapat menghargai kemampuan dan karyanya sendiri.
Dengan
bakat otonomi, inisiatif dan industri, manusia barulah menjadi manusia
seutuhnya, yang berkarya, dan berinovasi untuk menjadi berkat dalam kehidupan ini.
Tanpa jiwa yang menghargai kemampuan dan karyanya sendiri, manusia menjadi
manusia yang tidak berguna, yang menjadi beban bagi sesamanya.
Perkembangan
jiwa dengan kualitas ini merupakan hal yang sangat penting, karena tanpa itu,
manusia tidak pernah siap untuk menjadi manusia yang seutuhnya dan sekali lagi
hal *KOSONG* industri dibentuk, yaitu melalui sikap orangtua yang mendorong
pertumbuhan jiwa yang sehat tersebut sejak anak berusia 3 tahun.
Orang-tua
yang membelenggu anaknya dengan 1001 macam peraturan dalam rumah, mematikan
curiosity (keinginan tahu) si anak, dan takut dirugikan dengan kreativitas di
luar kemauannya, akan menghasilkan anak-anak dengan jiwa ragu-ragu,
terus-menerus merasa bersalah, dan rendah diri. Anak-anak ini di kemudian hari
akan tumbuh menjadi manusia-manusia yang tanpa inisiatif, dan tak punya
"self confidence dan self-esteem" (kepercayaan dan penghargaan pada
dirinya sendiri)." Mereka akan menjadi manusia-manusia yang tidak berguna.
Dengan ini sekali lagi kita disadarkan betapa besarnya kepentingan dan peran
dari keluarga.
- Melalui pernikahan dan pembentukan keluarga, orang percaya dipanggil untuk masuk ke dalam proses pendidikan yang paling efektif.
Alkitab
menyaksikan bahwa manusia diciptakan Allah menurut rupa dan gambar-Nya (Kejadian
1:26). Dan salah satu karekteristik dari natur manusia yang istimewa ini adalah
pertumbuhannya yang tidak mengenal kata cukup. Manusia diciptakan untuk
terus-menerus tumbuh dalam bakat, talenta dan kebenaran. Sehingga manusia dapat
dipersiapkan untuk menjadi partner (rekan kerja) Allah dalam mengerjakan dan
mengelola seluruh ciptaanNya (Kejadian 1:28, Efesus 2:10).
Sayang
sekali proses pertumbuhan ini mandeg, bahkan menjadi kacau- balau setelah
manusia jatuh dalam dosa. Sejak itu menusia tidak lagi menyadari akan maksud
Allah dengan pernikahan dan pembentukan keluarga supaya melalui itulah manusia
masuk dalam proses pertumbuhan yang tidak henti-hentinya. Di mata Allah,
pernikahan dan pembentukan keluarga adalah sarana pendidikan yang paling efektif.
Tidak heran jikalau setalah menciptakan Adam, Allah berfirman, tidak baik kalau
manusia itu seorang diri. "Aku akan menjadikan seorang penolong yang
sepadan baginya" (Kejadian2:18). Hubungan antara Adam dengan
"penolongnya yang sepadan" adalah hubungan suami-istri yang sah.
Yaitu hubungan seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah dipersatukan
oleh Allah, yang mengikatkan mereka dalam ikatan yang istimewa yang akan
memaksa mereka untuk terus-menerus tumbuh. Dalam hubungan dengan istrinya, Adam
terpaksa harus belajar menahan diri, bersabar, peka terhadap perasaan dan jalan
pikiran orang lain, dan bahkan menghargai pendapat yang mungkin sangat berbeda
dengan pikirannya sendiri. Adam harus bergumul dan dapat mentaklukkan selera
dan perasaannya sendiri yang berubah-ubah. Ia harus terus- menerus belajar
mengasihi isterinya dalam keadaan apapun. Termasuk dalam keadaan dimana
isterinya mungkin menjadi seorang yang sangat menjengkelkan hatinya."
*KOSONG* pekerjaan yang Allah percayakan padanya dengan hasil yang sangat baik
pula (misalnya, dalam menggarap bumi ini). Meskipun demikian, di mata Allah
Adam seorang dirinya sendiri "tidak baik." Allah tidak terlalu
mempedulikan "hasil/achievement," atau apa yang Adam bisa kerjakan.
Allah lebih mempedulikan apa yang terjadi dalam "hati" Adam. Sebagai
peta dan gambar Allah, Adam harus menjadi "makluk yang terus-menerus
tumbuh dalam kebenaran." Itulah maksud dari inisiatif Allah dalam
pernikahan dan pembentukan keluarga. Betapa pentingnya pernikahan dan
pembentukan keluarga di mata Allah. Karena melalui itulah manusia dapat
mengalami pertumbuhan dalam kebenaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar